Thursday, July 24, 2008

Selalu untuk Indonesia

[JAKARTA] Selama gelaran Piala Thomas dan Uber di Istora Senayan, Jakarta 11-18 Mei, nama dan wajah Susy Susanti menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari kesuksesan tim Uber Indonesia. Setelah mundur dari dunia bulutangkis, sekitar sepuluh tahun lalu, baru kali ini Susy mau terjun langsung. Hasilnya pun, tim Uber Indonesia yang dia bawa meraih posisi runner-up. Hasil yang luar biasa untuk ukuran "tim manajer pemula".

Menurut ibu tiga anak ini, ia hanya membagikan pengalaman kepada tim Indonesia. "Mereka sudah hebat. Saya hanya membagikan pengalaman. Keberhasilan ini terutama adalah kerja keras mereka," kata Susy, usai kekalahan Indonesia dari Tiongkok di partai final Piala Uber, Sabtu (17/5).

Selain itu, gaya kepelatihan Susy sangat membantu perkembangan kemampuan dan mental tim. "Kalau melatih, ia selalu memanggil kami "adik-adik". Meski cuma sebutan, namun kami merasa akrab sehingga tidak ragu bertanya. Demikian, kami bisa menimba banyak ilmu dan pengalaman," kata Firdasari.

Soal perkembangan atlet bulutangkis nasional, Susy hanya mengatakan kalau Indonesia punya banyak bibit atlet berbakat. "Sayang pembinaannya yang belum maksimal. Banyak anak berbakat yang tidak terpantau. Pencarian bakat menjadi hal penting untuk menjaga regenerasi olahraga, bulutangkis pada khususnya. Selain itu, dukungan pemerintah terhadap kemajuan bulutangkis harus ditingkatkan," ungkap Susy.

Menanggapi prestasi tim Uber saat ini, peraih Olimpiade Barcelona 1992 ini optimistis, putri-putri bulutangkis Indonesia mampu memberikan prestasi dalam waktu dekat. "Kalau bisa mempertahankan performa, disiplin latihan, dan menimba ilmu, saya yakin mereka akan segera berprestasi di tingkat internasional," ucap istri pebulutangkis Alan Budikusuma, yang juga meraih emas Olimpiade Barcelona 1992.

Kekalahan tim Uber Indonesia dari Tiongkok pada babak final, menurut Susy, bukanlah kegagalan. "Melihat kelas, Tiongkok jauh di atas Indonesia. Namun, anak-anak ini masih punya waktu untuk maju memperbaiki diri. Saya tetap bangga pada mereka, karena melawan tim dengan kelas yang jauh di atas kemampuan mereka, tim Uber Indonesia bisa tampil sangat luar biasa. Permainan mereka meningkat selama gelaran ini," puji Susy.

Mengenai Olimpiade Beijing, Agustus mendatang, Susy mengaku tidak tahu apakah masih akan menjabat sebagai manajer atau pelatih. "Yang jelas saya akan selalu membantu bulutangkis Indonesia dan membantu tidak selalu berarti saya masuk dalam struktur. Saya masih punya tugas mengurus tiga anak di rumah," ungkap Susy sambil tersenyum. Satu hal yang membuat tetap tenang, dia akan selalu "ada" untuk Indonesia. [ATW/W-11]

Bangkitnya Bulutangkis Putri Indonesia


Jakarta (ANTARA News) - "Tidak perlu waktu lama untuk mengimbangi pemain-pemain China asalkan mereka mau. Sektor ganda Indonesia bahkan pernah mengalahkan mereka. Untuk tunggal, perayaan Kebangkitan Nasional ini adalah masa kebangkitan putri-putri Indonesia."

Kalimat tersebut diucapkan ratu bulutangkis nasional, Susy Susanti tidak lama setelah tim putri Indonesia gagal menumbangkan dominasi China dalam final Piala Uber di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu lalu.

Meski gagal meraih kembali trofi yang berada di tangan negeri Tirai Bambu, sejak direbut dari Indonesia pada 1998, keberhasilan Maria Kristin dan kawan-kawan mencapai final Piala Uber itu sangat lah di luar dugaan.

Ucapan Susy tentu tidak sekedar kalimat untuk menghibur. Keterlibatannya sebagai manajer tim Piala Uber mendampingi para pemain sejak persiapan hingga berakhir di final, membuatnya sangat memahami mereka.

"Putri-putri Indonesia mampu berjuang dengan baik...mereka telah menunjukkan bahwa mereka mampu berprestasi dan meraih kemenangan demi kemenangan," demikian ucapan Susy, saat tim Uber Indonesia berhasil menaklukkan Jerman di semifinal dan melampaui target yang ditetapkan PB PBSI.

Tentu saja keberhasilan tersebut tidak diraih secara instan.

Bulutangkis putri Indonesia sudah sejak lama terpuruk.

Dalam turnamen perorangan internasional, catatan Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) menunjukkan bahwa para pemain tunggal terakhir kali meraih gelar pada 2006, saat Maria Kristin menang di Singapura dan Surabaya Satellite, Adriyanti Firdasari di Belanda Terbuka dan Pia Zebadiah merebut gelar Jakarta Satellite.

Hasil terbaik yang mereka raih terakhir kali barangkali adalah saat memenangi medali SEA Games 2007, baik pada nomor perorangan maupun beregu.

Sektor ganda putri mencatat prestasi yang lebih baik, setelah pasangan Vita Marissa/Liliyana Natsir meraih gelar China Masters, itu pun sudah setahun lalu.

Sedang gelar juara yang terakhir diraih pasangan Jo Novita/Greysia Polii adalah Filipina Terbuka 2006, sementara ganda utama lainnya Rani Mundiasti/Endang Nursugianti terakhir menjuarai Belanda Terbuka 2006.


Angin perubahan

Perubahan datang saat juara Olimpiade Barcelona, Susy Susanti ditunjuk menjadi manajer tim Piala Uber.

Tim yang sejak menjadi runner-up pada 1998, prestasinya semakin menurun hingga pada titik terendah saat tidak lolos kualifikasi pada 2006, sejak awal diragukan dapat mencapai target semifinal.

Namun, dengan semangat pantang menyerah dan berjuang habis-habisan serta tak gentar menghadapi lawan yang ditularkan peraih penghargaan "Hall of Fame" 2004 dari Federasi Bulutangkis Internasional (sekarang BWF) itu, tim putri Indonesia tampil gemilang.

Mengawali laga dengan menundukkan unggulan kedua Jepang dengan skor meyakinkan 4-1, tim Indonesia dengan mudah menyapu bersih tim Belanda -- yang nyaris mengalahkan China di perempatfinal -- dengan kemenangan mutlak 5-0 untuk lolos ke perempatfinal dengan memuncaki Grup Z.

Pada perempatfinal, tim asuhan pelatih Marleve Mainaky, Aryono dan Richard Mainaky itu menggasak Hongkong 3-0 dan kemudian meraih kemenangan 3-1 atas Jerman di semifinal sebelum menyerah 0-3 pada juara bertahan China di laga puncak.

"Saya bangga dengan mereka, semangat juang mereka sangat luar biasa," ujar Susy yang selama mendampingi para pemain menyadari bahwa secara teknis putri-putri Cipayung tidak kalah dari pemain-pemain dunia lainnya.

"Hanya mental, cara pandang dan semangat juang mereka yang masih harus dibenahi. Saya selalu tekankan pada mereka agar menghadapi siapapun lawan dengan berani, jangan memikirkan hasil, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan," jelas Susy.

Motivasi yang ditanamkan Susy terbukti jitu, para pemain mampu mengalahkan lawan-lawan dengan peringkat yang jauh lebih tinggi, seperti saat Maria (peringkat 30 dunia) mengalahkan Yip Pui Yin (12) dari Hong Kong, dan Firdasari (35) menundukan Julianne Schenk (13) dari Jerman.

Tunggal putri berperingkat 78 dunia, Pia Zebadiah juga mengisi peringatan 40 hari meninggalnya sang ayah, Djumharbey Anwar, dengan kemenangan atas pemain Jepang Kaori Mori (22). Ia menyumbang angka dalam tiga pertandingan yang ia mainkan, begitu pula ganda kedua Jo Novita/Greysia Polii.

Pasangan Vita Marissa/Liliyana Natsir pun hanya mengalami kekalahan saat melawan China.

"Penampilan mereka sudah maksimal. Sekarang tinggal bagaimana memperbaiki kekurangan dan meningkatkan apa yang sudah mereka miliki," demikian Susy, yang meski mendapat limpahan pujian atas keberhasilan tersebut, tetap menyatakan tidak bersedia menjadi pelatih.

"Kekurangan mereka, terutama pemain tunggal, ada pada kecepatan, kekuatan, dan ketangkasan," kata Marleve Mainaky yang menangani tunggal putri sejak ditinggalkan Hendrawan usai Piala Sudirman tahun lalu.

"Saya sudah tahu dan sudah menyusun rencana apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki itu semua," lanjut Marleve.

Mudah-mudahan hasil gemilang dalam Piala Uber 2008 yang menumbuhkan percaya diri dalam diri pemain ditambah tekad pelatih untuk memperbaiki kekurangan, dapat benar-benar membangkitkan bulutangkis putri Indonesia yang sudah sekian lama mati suri. (*)


antara.co.id
Marleve Mainaky
Dari Tunggal Pria Jadi Pelatih Tunggal Wanita
Oleh admin
Kamis, 08-Mei-2008, 22:38:53 567 klik Send this story to a friend Printable Version

Kehadiran Marleve Mainaky dalam jajaran pelatih Pelatnas Cipayung semakin mengukuhkan dinasti Mainaky. Pelajaran berharga dia tuai saat berdikusi dengan kakak-kakaknya yang lebih dahulu menjadi pelatih.

Oleh: FEMI DIAH, Jakarta

Harus Luwes dan Sabar Selami Psikologis Pemain

Kehadiran Marleve Mainaky dalam jajaran pelatih Pelatnas Cipayung semakin mengukuhkan dinasti Mainaky. Pelajaran berharga dia tuai saat berdikusi dengan kakak-kakaknya yang lebih dahulu menjadi pelatih.

Marleve Mainaky belum lama menukangi tunggal wanita. Piala Uber kali ini bakal menjadi ujian perdananya di turnamen beregu internasional. ''Siapa bilang saya tidak nervous. Itu benar-benar ajang pembuktian untuk saya sebagai pelatih,'' katanya di sela-sela mendampingi latihan Maria Kristin dkk di Istana Olahraga (Istora) Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, kemarin (7/5).

Malah, menurut Marleve, ketegangan menjadi pelatih lebih besar daripada saat dirinya masih bertanding di lapangan lewat predikat pemain. ''Saat menjadi pemain, beban ada bagi saya sendiri. Nah, sebagai pelatih, saya harus mengantarkan empat pemain, tutur adik kandung Rexy Mainaky tersebut.

Empat pemain yang dimaksud adalah Maria Kristin, Adriyanti Firdasari, Pia Zebadiah, dan Fransisca Ratnasari. Mereka bakal menjadi andalan Merah Putih di Piala Uber edisi 2008 bersama tiga pasangan ganda wanita, yakni Vita Marissa/ Lilyana Natsir, Jo Novita/ Greysia Polii, dan Endang Nursugiyanti/ Rani Mundiasti.

Awalnya, Marleve tidak menyangka akan diberi amanah menjadi pelatih tunggal wanita. Saya kan orangnya kagok kalau berkomunikasi dengan perempuan, ujarnya.

Padahal, Marleve memiliki banyak penggemar dari kaum Hawa. Meski, kini dia sudah tak lagi berpredikat sebagai pemain. Dia memang belum lama dipercaya menjadi pelatih oleh PB PBSI. Pada Agustus lalu, dia menerima surat keputusan yang menitahkan dirinya menjadi pelatih. Namun, baru pada November lalu, dia benar-benar membesut tunggal wanita seorang diri. ''Awalnya, saya hanya diminta bantu-bantu oleh Hendrawan. Eh, dia kok malah minta fokus ke tunggal pria,'' paparnya.

Kini, beban berat harus dipanggul oleh Marleve. Dengan materi pemain yang pas-pasan, minimal dia diharapkan dapat mengantarkan para srikandi Merah Putih itu meraih babak semifinal di Jakarta. Namun, kehadiran Susi Susanti sebagai manajer tim dan Aryono Miranat selaku pelatih ganda wanita dalam Tim Uber diharapkan dapat membantunya meraih hasil tersebut.

Keputusan PB PBSI untuk menyertakan pelatih ganda campuran Richard Mainaky yang juga kakak kandung Marleve itu turut membuat dirinya semakin percaya diri. ''Kami sering berdiskusi tentang program latihan,'' ungkapnya.

Apalagi, menangani pemain wanita rupanya lebih sulit daripada membesut sektor pria. Sebab, untuk memoles para pemain wanita, dibutuhkan lebih banyak kesabaran dan keluwesan dalam mendekati mereka. ''Tak melulu membicarakan program latihan. Kadang-kadang, pembicaraan diselingi dengan gurauan. Sebab, kadang-kadang psikologi mereka kurang stabil,'' jelasnya.

Kini, dia berharap Tim Uber Indonesia mampu tampil optimal. Apalagi, sebagai mantan pemain, Marleve sangat mengenal karakteristik penonton Indonesia. Mereka bisa berbalik arah jika para pemainnya tidak mampu tampil optimal. Mereka akan menyerang pemain sendiri. ''Makanya, anak-anak harus tampil seoptimalnya dan menunjukkan kerja keras dalam menghadapi lawan agar penonton tetap bersimpati,'' ucapnya.

Lima di antara enam putra keluarga Mainaky berprofesi sebagai pemain bulutangkis. Mulai Richard Mainaky, Rexy Mainaky, Marleve Mainaky, Riony Mainaky, dan Karel Mainaky. Marleve mencatatkan diri menjadi bagian dari Tim Thomas Indonesia yang sukses menorehkan gelar juara pada 2000 dan 2002. (aww)

(Sumber: indopos.co.id)
Hastomo Arbi
Rutin Bersepeda Gunung
Oleh admin
Selasa, 29-April-2008, 08:05:03 317 klik Send this story to a friend Printable Version

Pensiun dari bulutangkis tidak membuat Hastomo Arbi melupakan olahraga yang membesarkan namanya. Pahlawan Tim Thomas Indonesia edisi 1984 itu masih setia mengabdi di klub lamanya, Djarum Kudus. Dia lebih banyak menularkan ilmu bulutangkis kepada pemain junior, yang berusia hingga 15 tahun (KU-15). Jumlah anak yang dilatihnya hanya sepuluh orang.

Pensiun dari bulutangkis tidak membuat Hastomo Arbi melupakan olahraga yang membesarkan namanya. Pahlawan Tim Thomas Indonesia edisi 1984 itu masih setia mengabdi di klub lamanya, Djarum Kudus. Dia lebih banyak menularkan ilmu bulutangkis kepada pemain junior, yang berusia hingga 15 tahun (KU-15). Jumlah anak yang dilatihnya hanya sepuluh orang.

Dia rutin melatih seminggu lima kali, Senin-Jumat. Lantas, apa kegiatan Sabtu dan Minggu? ''Saya rutin bersepeda gunung. Itu bertujuan untuk menjaga kebugaran saja. Lumayan, setiap latihan, sekali jalan 18 km. Jadi, bolak-balik dari rumah ke Gunung Muria, ya sekitar 36 km,'' kata Hastomo yang ditemui Jawa Pos di rumahnya, Gang Anggrek, Desa Burikan, Kecamatan Kudus, Sabtu (26/4).

Sepanjang berkarir sebagai pebulutangkis, Hastomo pernah membawa Indonesia menjadi juara Piala Thomas 1984 di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada partai final, Hastomo menyumbangkan poin saat Indonesia mengalahkan Tiongkok 3-2. ''Pada 1982, saya tak sempat bertanding karena terkena doping akibat minum obat flu. Saya sempat diskors setahun,'' kenang Hastomo. (ado/aww)

(Sumber: indopos.co.id)
Tony Gunawan
Pergi untuk Gelar Sarjana, Dapat Juara Dunia
Oleh admin
Kamis, 01-Mei-2008, 09:26:15 886 klik Send this story to a friend Printable Version

Pada 2002, tim nasional bulutangkis Indonesia kehilangan salah seorang pemain terbaiknya, Tony Gunawan. Dia hijrah ke Negeri Paman Sam untuk menjadi pemain sekaligus pelatih timnas. Bagaimana kabarnya kini?

Tony Gunawan, Pebulutangkis ''Ekspor'' Tersukses Indonesia di Amerika Serikat

Pada 2002, tim nasional bulutangkis Indonesia kehilangan salah seorang pemain terbaiknya, Tony Gunawan. Dia hijrah ke Negeri Paman Sam untuk menjadi pemain sekaligus pelatih timnas. Bagaimana kabarnya kini?
Brazil adalah negeri pengekspor pemain sepak bola terbesar. Ribuan seniman kulit bundar dari Negeri Samba bertebaran di Eropa hingga Asia. Motif uang dan kesempatan bermain di even bergengsi seperti Piala Dunia menjadi penyebab.

Meski tidak sesukses Brazil, Indonesia juga menjadi pengekspor atlet. Sebagai salah satu kiblat bulutangkis dunia, pebulutangkis Indonesia cukup laris di negara-negara Eropa, Amerika, bahkan Asia.

Alasannya pun hampir sama dengan penyebab pesepak bola Brazil berganti kewarganegaraan, yakni kuota Cipayung, markas pelatnas bulutangkis Indonesia, begitu terbatas. Daripada tidak bisa berlaga di even Internasional, banyak yang memilih membela negara lain. Iming-iming gaji tinggi di luar negeri membuat ekspor pebulu tangkis kian marak.

Timnas Singapura saat ini mulai pelatih hingga pemain didominasi produk pembinaan bulutangkis Indonesia. Timnas Hongkong pun dibela oleh dua pemain asal Jawa Timur. Di Timnas Australia, Aditya Sundoro, pebulutangkis asal Klaten (Jawa Tengah), menjadi pelatih sekaligus pemain.

Di antara sekian banyak ekspor pebulutangkis, 'transaksi' paling heboh adalah kepergian Tony Gunawan ke Amerika Serikat pada 2002. Kala itu, pecinta bulutangkis tanah air begitu kehilangan salah seorang pemain terbaik tersebut. Dua tahun sebelumnya, dia sukses merebut medali emas Oimpiade 2000 Sydney di nomor ganda pria berpasangan dengan Candra Wijaya.

Alasan untuk mendapatkan tempat di timnas tentu saja tidak relevan. Sebab, Tony pada saat itu merupakan salah satu tulang punggung tim Merah Putih. Alasan uang? Tony maupun Candra adalah salah seorang pebulutangkis paling makmur di tanah air.

Lantas, kenapa dia pergi ke Amerika? Ternyata, cita-citanya menjadi sarjana membuatnya pergi ke Negeri Paman Sam. Dia rela pergi jauh untuk mendapatkannya karena ingin gelar itu diraih dari universitas bergengsi.

''Semua gelar internasional di bulutangkis telah saya dapatkan. Berarti, obsesi tertinggi saya di dunia itu telah tercapai. Karena itu, saya ingin mengejar cita-cita di bidang lain,'' ujar Tony.

Dia menempuh pendidikan teknik komputer (computer engineer) di Devry University di Pamona, California. Itu menjadi kesibukan tambahannya selain melatih dan bermain bulutangkis di Orange County Badminton Club.
Namun, kesuksesannya di dunia bulutangkis tak mampu merembet ke dunia pendidikan. Kesibukan Tony bermain olahraga tepok bulu menyita banyak waktunya. Akibatnya, dia di-drop-out pada 2006.

Sebelumnya, dia mengajukan cuti pada 2005. Seharusnya, maksimal cuti selama dua semester saja. Namun, karena terlalu sibuk, cuti itu molor dan dia di-DO.

''Kala itu, saya terlalu sibuk, menjalani empat profesi sekaligus. Yakni, sebagai mahasiswa, pelatih serta pemain bulutangkis, dan karyawan di perusahaan swasta Qwip Technology,'' bebernya.

Salah satu penyebab Tony lupa pada kuliahnya adalah persiapannya tampil di Kejuaraan Dunia 2005. Pada saat itu, dia berpasangan dengan Howard Bach untuk membela Amerika. Dalam even tersebut, mereka sukses menjadi juara dunia.

Kalau ditimbang untung ruginya, Tony sebenarnya tidak perlu merisaukan kegagalannya menjadi sarjana. Pengorbanannya itu berbuah gelar juara dunia. Catatan tersebut menjadikan Tony sebagai pebulutangkis ekspor paling sukses.

''Saya berhasil mencetak sejarah untuk perbulutangkisan Amerika Serikat,'' ucapnya penuh bangga. Kesuksesannya itu membuat dia terkenal di AS. Jadwalnya untuk menghadiri pertandingan ekshibisi semakin padat. Akibatnya, pekerjaannya sebagai akuntan di Qwip Technology, sebuah perusahan elektronik, jadi korban kedua.

''Kini, saya mulai berusaha meritis usaha di bidang trading,'' paparnya. Di pagi hari mulai pukul 07.00-09.30, dia harus datang ke klub untuk membimbing pebulutangkis kelompok dewasa berlatih. Pukul 10.30-14.00, dia pun memulai pekerjaannya di perdagangan saham bersama beberapa saudaranya. ''Pukul 16.00-18.00, saya berlatih bersama para pemain junior,'' paparnya. (luq/ang)

(Sumber: indopos.co.id)