Thursday, July 24, 2008

Selalu untuk Indonesia

[JAKARTA] Selama gelaran Piala Thomas dan Uber di Istora Senayan, Jakarta 11-18 Mei, nama dan wajah Susy Susanti menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari kesuksesan tim Uber Indonesia. Setelah mundur dari dunia bulutangkis, sekitar sepuluh tahun lalu, baru kali ini Susy mau terjun langsung. Hasilnya pun, tim Uber Indonesia yang dia bawa meraih posisi runner-up. Hasil yang luar biasa untuk ukuran "tim manajer pemula".

Menurut ibu tiga anak ini, ia hanya membagikan pengalaman kepada tim Indonesia. "Mereka sudah hebat. Saya hanya membagikan pengalaman. Keberhasilan ini terutama adalah kerja keras mereka," kata Susy, usai kekalahan Indonesia dari Tiongkok di partai final Piala Uber, Sabtu (17/5).

Selain itu, gaya kepelatihan Susy sangat membantu perkembangan kemampuan dan mental tim. "Kalau melatih, ia selalu memanggil kami "adik-adik". Meski cuma sebutan, namun kami merasa akrab sehingga tidak ragu bertanya. Demikian, kami bisa menimba banyak ilmu dan pengalaman," kata Firdasari.

Soal perkembangan atlet bulutangkis nasional, Susy hanya mengatakan kalau Indonesia punya banyak bibit atlet berbakat. "Sayang pembinaannya yang belum maksimal. Banyak anak berbakat yang tidak terpantau. Pencarian bakat menjadi hal penting untuk menjaga regenerasi olahraga, bulutangkis pada khususnya. Selain itu, dukungan pemerintah terhadap kemajuan bulutangkis harus ditingkatkan," ungkap Susy.

Menanggapi prestasi tim Uber saat ini, peraih Olimpiade Barcelona 1992 ini optimistis, putri-putri bulutangkis Indonesia mampu memberikan prestasi dalam waktu dekat. "Kalau bisa mempertahankan performa, disiplin latihan, dan menimba ilmu, saya yakin mereka akan segera berprestasi di tingkat internasional," ucap istri pebulutangkis Alan Budikusuma, yang juga meraih emas Olimpiade Barcelona 1992.

Kekalahan tim Uber Indonesia dari Tiongkok pada babak final, menurut Susy, bukanlah kegagalan. "Melihat kelas, Tiongkok jauh di atas Indonesia. Namun, anak-anak ini masih punya waktu untuk maju memperbaiki diri. Saya tetap bangga pada mereka, karena melawan tim dengan kelas yang jauh di atas kemampuan mereka, tim Uber Indonesia bisa tampil sangat luar biasa. Permainan mereka meningkat selama gelaran ini," puji Susy.

Mengenai Olimpiade Beijing, Agustus mendatang, Susy mengaku tidak tahu apakah masih akan menjabat sebagai manajer atau pelatih. "Yang jelas saya akan selalu membantu bulutangkis Indonesia dan membantu tidak selalu berarti saya masuk dalam struktur. Saya masih punya tugas mengurus tiga anak di rumah," ungkap Susy sambil tersenyum. Satu hal yang membuat tetap tenang, dia akan selalu "ada" untuk Indonesia. [ATW/W-11]

Bangkitnya Bulutangkis Putri Indonesia


Jakarta (ANTARA News) - "Tidak perlu waktu lama untuk mengimbangi pemain-pemain China asalkan mereka mau. Sektor ganda Indonesia bahkan pernah mengalahkan mereka. Untuk tunggal, perayaan Kebangkitan Nasional ini adalah masa kebangkitan putri-putri Indonesia."

Kalimat tersebut diucapkan ratu bulutangkis nasional, Susy Susanti tidak lama setelah tim putri Indonesia gagal menumbangkan dominasi China dalam final Piala Uber di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu lalu.

Meski gagal meraih kembali trofi yang berada di tangan negeri Tirai Bambu, sejak direbut dari Indonesia pada 1998, keberhasilan Maria Kristin dan kawan-kawan mencapai final Piala Uber itu sangat lah di luar dugaan.

Ucapan Susy tentu tidak sekedar kalimat untuk menghibur. Keterlibatannya sebagai manajer tim Piala Uber mendampingi para pemain sejak persiapan hingga berakhir di final, membuatnya sangat memahami mereka.

"Putri-putri Indonesia mampu berjuang dengan baik...mereka telah menunjukkan bahwa mereka mampu berprestasi dan meraih kemenangan demi kemenangan," demikian ucapan Susy, saat tim Uber Indonesia berhasil menaklukkan Jerman di semifinal dan melampaui target yang ditetapkan PB PBSI.

Tentu saja keberhasilan tersebut tidak diraih secara instan.

Bulutangkis putri Indonesia sudah sejak lama terpuruk.

Dalam turnamen perorangan internasional, catatan Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) menunjukkan bahwa para pemain tunggal terakhir kali meraih gelar pada 2006, saat Maria Kristin menang di Singapura dan Surabaya Satellite, Adriyanti Firdasari di Belanda Terbuka dan Pia Zebadiah merebut gelar Jakarta Satellite.

Hasil terbaik yang mereka raih terakhir kali barangkali adalah saat memenangi medali SEA Games 2007, baik pada nomor perorangan maupun beregu.

Sektor ganda putri mencatat prestasi yang lebih baik, setelah pasangan Vita Marissa/Liliyana Natsir meraih gelar China Masters, itu pun sudah setahun lalu.

Sedang gelar juara yang terakhir diraih pasangan Jo Novita/Greysia Polii adalah Filipina Terbuka 2006, sementara ganda utama lainnya Rani Mundiasti/Endang Nursugianti terakhir menjuarai Belanda Terbuka 2006.


Angin perubahan

Perubahan datang saat juara Olimpiade Barcelona, Susy Susanti ditunjuk menjadi manajer tim Piala Uber.

Tim yang sejak menjadi runner-up pada 1998, prestasinya semakin menurun hingga pada titik terendah saat tidak lolos kualifikasi pada 2006, sejak awal diragukan dapat mencapai target semifinal.

Namun, dengan semangat pantang menyerah dan berjuang habis-habisan serta tak gentar menghadapi lawan yang ditularkan peraih penghargaan "Hall of Fame" 2004 dari Federasi Bulutangkis Internasional (sekarang BWF) itu, tim putri Indonesia tampil gemilang.

Mengawali laga dengan menundukkan unggulan kedua Jepang dengan skor meyakinkan 4-1, tim Indonesia dengan mudah menyapu bersih tim Belanda -- yang nyaris mengalahkan China di perempatfinal -- dengan kemenangan mutlak 5-0 untuk lolos ke perempatfinal dengan memuncaki Grup Z.

Pada perempatfinal, tim asuhan pelatih Marleve Mainaky, Aryono dan Richard Mainaky itu menggasak Hongkong 3-0 dan kemudian meraih kemenangan 3-1 atas Jerman di semifinal sebelum menyerah 0-3 pada juara bertahan China di laga puncak.

"Saya bangga dengan mereka, semangat juang mereka sangat luar biasa," ujar Susy yang selama mendampingi para pemain menyadari bahwa secara teknis putri-putri Cipayung tidak kalah dari pemain-pemain dunia lainnya.

"Hanya mental, cara pandang dan semangat juang mereka yang masih harus dibenahi. Saya selalu tekankan pada mereka agar menghadapi siapapun lawan dengan berani, jangan memikirkan hasil, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan," jelas Susy.

Motivasi yang ditanamkan Susy terbukti jitu, para pemain mampu mengalahkan lawan-lawan dengan peringkat yang jauh lebih tinggi, seperti saat Maria (peringkat 30 dunia) mengalahkan Yip Pui Yin (12) dari Hong Kong, dan Firdasari (35) menundukan Julianne Schenk (13) dari Jerman.

Tunggal putri berperingkat 78 dunia, Pia Zebadiah juga mengisi peringatan 40 hari meninggalnya sang ayah, Djumharbey Anwar, dengan kemenangan atas pemain Jepang Kaori Mori (22). Ia menyumbang angka dalam tiga pertandingan yang ia mainkan, begitu pula ganda kedua Jo Novita/Greysia Polii.

Pasangan Vita Marissa/Liliyana Natsir pun hanya mengalami kekalahan saat melawan China.

"Penampilan mereka sudah maksimal. Sekarang tinggal bagaimana memperbaiki kekurangan dan meningkatkan apa yang sudah mereka miliki," demikian Susy, yang meski mendapat limpahan pujian atas keberhasilan tersebut, tetap menyatakan tidak bersedia menjadi pelatih.

"Kekurangan mereka, terutama pemain tunggal, ada pada kecepatan, kekuatan, dan ketangkasan," kata Marleve Mainaky yang menangani tunggal putri sejak ditinggalkan Hendrawan usai Piala Sudirman tahun lalu.

"Saya sudah tahu dan sudah menyusun rencana apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki itu semua," lanjut Marleve.

Mudah-mudahan hasil gemilang dalam Piala Uber 2008 yang menumbuhkan percaya diri dalam diri pemain ditambah tekad pelatih untuk memperbaiki kekurangan, dapat benar-benar membangkitkan bulutangkis putri Indonesia yang sudah sekian lama mati suri. (*)


antara.co.id
Marleve Mainaky
Dari Tunggal Pria Jadi Pelatih Tunggal Wanita
Oleh admin
Kamis, 08-Mei-2008, 22:38:53 567 klik Send this story to a friend Printable Version

Kehadiran Marleve Mainaky dalam jajaran pelatih Pelatnas Cipayung semakin mengukuhkan dinasti Mainaky. Pelajaran berharga dia tuai saat berdikusi dengan kakak-kakaknya yang lebih dahulu menjadi pelatih.

Oleh: FEMI DIAH, Jakarta

Harus Luwes dan Sabar Selami Psikologis Pemain

Kehadiran Marleve Mainaky dalam jajaran pelatih Pelatnas Cipayung semakin mengukuhkan dinasti Mainaky. Pelajaran berharga dia tuai saat berdikusi dengan kakak-kakaknya yang lebih dahulu menjadi pelatih.

Marleve Mainaky belum lama menukangi tunggal wanita. Piala Uber kali ini bakal menjadi ujian perdananya di turnamen beregu internasional. ''Siapa bilang saya tidak nervous. Itu benar-benar ajang pembuktian untuk saya sebagai pelatih,'' katanya di sela-sela mendampingi latihan Maria Kristin dkk di Istana Olahraga (Istora) Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, kemarin (7/5).

Malah, menurut Marleve, ketegangan menjadi pelatih lebih besar daripada saat dirinya masih bertanding di lapangan lewat predikat pemain. ''Saat menjadi pemain, beban ada bagi saya sendiri. Nah, sebagai pelatih, saya harus mengantarkan empat pemain, tutur adik kandung Rexy Mainaky tersebut.

Empat pemain yang dimaksud adalah Maria Kristin, Adriyanti Firdasari, Pia Zebadiah, dan Fransisca Ratnasari. Mereka bakal menjadi andalan Merah Putih di Piala Uber edisi 2008 bersama tiga pasangan ganda wanita, yakni Vita Marissa/ Lilyana Natsir, Jo Novita/ Greysia Polii, dan Endang Nursugiyanti/ Rani Mundiasti.

Awalnya, Marleve tidak menyangka akan diberi amanah menjadi pelatih tunggal wanita. Saya kan orangnya kagok kalau berkomunikasi dengan perempuan, ujarnya.

Padahal, Marleve memiliki banyak penggemar dari kaum Hawa. Meski, kini dia sudah tak lagi berpredikat sebagai pemain. Dia memang belum lama dipercaya menjadi pelatih oleh PB PBSI. Pada Agustus lalu, dia menerima surat keputusan yang menitahkan dirinya menjadi pelatih. Namun, baru pada November lalu, dia benar-benar membesut tunggal wanita seorang diri. ''Awalnya, saya hanya diminta bantu-bantu oleh Hendrawan. Eh, dia kok malah minta fokus ke tunggal pria,'' paparnya.

Kini, beban berat harus dipanggul oleh Marleve. Dengan materi pemain yang pas-pasan, minimal dia diharapkan dapat mengantarkan para srikandi Merah Putih itu meraih babak semifinal di Jakarta. Namun, kehadiran Susi Susanti sebagai manajer tim dan Aryono Miranat selaku pelatih ganda wanita dalam Tim Uber diharapkan dapat membantunya meraih hasil tersebut.

Keputusan PB PBSI untuk menyertakan pelatih ganda campuran Richard Mainaky yang juga kakak kandung Marleve itu turut membuat dirinya semakin percaya diri. ''Kami sering berdiskusi tentang program latihan,'' ungkapnya.

Apalagi, menangani pemain wanita rupanya lebih sulit daripada membesut sektor pria. Sebab, untuk memoles para pemain wanita, dibutuhkan lebih banyak kesabaran dan keluwesan dalam mendekati mereka. ''Tak melulu membicarakan program latihan. Kadang-kadang, pembicaraan diselingi dengan gurauan. Sebab, kadang-kadang psikologi mereka kurang stabil,'' jelasnya.

Kini, dia berharap Tim Uber Indonesia mampu tampil optimal. Apalagi, sebagai mantan pemain, Marleve sangat mengenal karakteristik penonton Indonesia. Mereka bisa berbalik arah jika para pemainnya tidak mampu tampil optimal. Mereka akan menyerang pemain sendiri. ''Makanya, anak-anak harus tampil seoptimalnya dan menunjukkan kerja keras dalam menghadapi lawan agar penonton tetap bersimpati,'' ucapnya.

Lima di antara enam putra keluarga Mainaky berprofesi sebagai pemain bulutangkis. Mulai Richard Mainaky, Rexy Mainaky, Marleve Mainaky, Riony Mainaky, dan Karel Mainaky. Marleve mencatatkan diri menjadi bagian dari Tim Thomas Indonesia yang sukses menorehkan gelar juara pada 2000 dan 2002. (aww)

(Sumber: indopos.co.id)
Hastomo Arbi
Rutin Bersepeda Gunung
Oleh admin
Selasa, 29-April-2008, 08:05:03 317 klik Send this story to a friend Printable Version

Pensiun dari bulutangkis tidak membuat Hastomo Arbi melupakan olahraga yang membesarkan namanya. Pahlawan Tim Thomas Indonesia edisi 1984 itu masih setia mengabdi di klub lamanya, Djarum Kudus. Dia lebih banyak menularkan ilmu bulutangkis kepada pemain junior, yang berusia hingga 15 tahun (KU-15). Jumlah anak yang dilatihnya hanya sepuluh orang.

Pensiun dari bulutangkis tidak membuat Hastomo Arbi melupakan olahraga yang membesarkan namanya. Pahlawan Tim Thomas Indonesia edisi 1984 itu masih setia mengabdi di klub lamanya, Djarum Kudus. Dia lebih banyak menularkan ilmu bulutangkis kepada pemain junior, yang berusia hingga 15 tahun (KU-15). Jumlah anak yang dilatihnya hanya sepuluh orang.

Dia rutin melatih seminggu lima kali, Senin-Jumat. Lantas, apa kegiatan Sabtu dan Minggu? ''Saya rutin bersepeda gunung. Itu bertujuan untuk menjaga kebugaran saja. Lumayan, setiap latihan, sekali jalan 18 km. Jadi, bolak-balik dari rumah ke Gunung Muria, ya sekitar 36 km,'' kata Hastomo yang ditemui Jawa Pos di rumahnya, Gang Anggrek, Desa Burikan, Kecamatan Kudus, Sabtu (26/4).

Sepanjang berkarir sebagai pebulutangkis, Hastomo pernah membawa Indonesia menjadi juara Piala Thomas 1984 di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada partai final, Hastomo menyumbangkan poin saat Indonesia mengalahkan Tiongkok 3-2. ''Pada 1982, saya tak sempat bertanding karena terkena doping akibat minum obat flu. Saya sempat diskors setahun,'' kenang Hastomo. (ado/aww)

(Sumber: indopos.co.id)
Tony Gunawan
Pergi untuk Gelar Sarjana, Dapat Juara Dunia
Oleh admin
Kamis, 01-Mei-2008, 09:26:15 886 klik Send this story to a friend Printable Version

Pada 2002, tim nasional bulutangkis Indonesia kehilangan salah seorang pemain terbaiknya, Tony Gunawan. Dia hijrah ke Negeri Paman Sam untuk menjadi pemain sekaligus pelatih timnas. Bagaimana kabarnya kini?

Tony Gunawan, Pebulutangkis ''Ekspor'' Tersukses Indonesia di Amerika Serikat

Pada 2002, tim nasional bulutangkis Indonesia kehilangan salah seorang pemain terbaiknya, Tony Gunawan. Dia hijrah ke Negeri Paman Sam untuk menjadi pemain sekaligus pelatih timnas. Bagaimana kabarnya kini?
Brazil adalah negeri pengekspor pemain sepak bola terbesar. Ribuan seniman kulit bundar dari Negeri Samba bertebaran di Eropa hingga Asia. Motif uang dan kesempatan bermain di even bergengsi seperti Piala Dunia menjadi penyebab.

Meski tidak sesukses Brazil, Indonesia juga menjadi pengekspor atlet. Sebagai salah satu kiblat bulutangkis dunia, pebulutangkis Indonesia cukup laris di negara-negara Eropa, Amerika, bahkan Asia.

Alasannya pun hampir sama dengan penyebab pesepak bola Brazil berganti kewarganegaraan, yakni kuota Cipayung, markas pelatnas bulutangkis Indonesia, begitu terbatas. Daripada tidak bisa berlaga di even Internasional, banyak yang memilih membela negara lain. Iming-iming gaji tinggi di luar negeri membuat ekspor pebulu tangkis kian marak.

Timnas Singapura saat ini mulai pelatih hingga pemain didominasi produk pembinaan bulutangkis Indonesia. Timnas Hongkong pun dibela oleh dua pemain asal Jawa Timur. Di Timnas Australia, Aditya Sundoro, pebulutangkis asal Klaten (Jawa Tengah), menjadi pelatih sekaligus pemain.

Di antara sekian banyak ekspor pebulutangkis, 'transaksi' paling heboh adalah kepergian Tony Gunawan ke Amerika Serikat pada 2002. Kala itu, pecinta bulutangkis tanah air begitu kehilangan salah seorang pemain terbaik tersebut. Dua tahun sebelumnya, dia sukses merebut medali emas Oimpiade 2000 Sydney di nomor ganda pria berpasangan dengan Candra Wijaya.

Alasan untuk mendapatkan tempat di timnas tentu saja tidak relevan. Sebab, Tony pada saat itu merupakan salah satu tulang punggung tim Merah Putih. Alasan uang? Tony maupun Candra adalah salah seorang pebulutangkis paling makmur di tanah air.

Lantas, kenapa dia pergi ke Amerika? Ternyata, cita-citanya menjadi sarjana membuatnya pergi ke Negeri Paman Sam. Dia rela pergi jauh untuk mendapatkannya karena ingin gelar itu diraih dari universitas bergengsi.

''Semua gelar internasional di bulutangkis telah saya dapatkan. Berarti, obsesi tertinggi saya di dunia itu telah tercapai. Karena itu, saya ingin mengejar cita-cita di bidang lain,'' ujar Tony.

Dia menempuh pendidikan teknik komputer (computer engineer) di Devry University di Pamona, California. Itu menjadi kesibukan tambahannya selain melatih dan bermain bulutangkis di Orange County Badminton Club.
Namun, kesuksesannya di dunia bulutangkis tak mampu merembet ke dunia pendidikan. Kesibukan Tony bermain olahraga tepok bulu menyita banyak waktunya. Akibatnya, dia di-drop-out pada 2006.

Sebelumnya, dia mengajukan cuti pada 2005. Seharusnya, maksimal cuti selama dua semester saja. Namun, karena terlalu sibuk, cuti itu molor dan dia di-DO.

''Kala itu, saya terlalu sibuk, menjalani empat profesi sekaligus. Yakni, sebagai mahasiswa, pelatih serta pemain bulutangkis, dan karyawan di perusahaan swasta Qwip Technology,'' bebernya.

Salah satu penyebab Tony lupa pada kuliahnya adalah persiapannya tampil di Kejuaraan Dunia 2005. Pada saat itu, dia berpasangan dengan Howard Bach untuk membela Amerika. Dalam even tersebut, mereka sukses menjadi juara dunia.

Kalau ditimbang untung ruginya, Tony sebenarnya tidak perlu merisaukan kegagalannya menjadi sarjana. Pengorbanannya itu berbuah gelar juara dunia. Catatan tersebut menjadikan Tony sebagai pebulutangkis ekspor paling sukses.

''Saya berhasil mencetak sejarah untuk perbulutangkisan Amerika Serikat,'' ucapnya penuh bangga. Kesuksesannya itu membuat dia terkenal di AS. Jadwalnya untuk menghadiri pertandingan ekshibisi semakin padat. Akibatnya, pekerjaannya sebagai akuntan di Qwip Technology, sebuah perusahan elektronik, jadi korban kedua.

''Kini, saya mulai berusaha meritis usaha di bidang trading,'' paparnya. Di pagi hari mulai pukul 07.00-09.30, dia harus datang ke klub untuk membimbing pebulutangkis kelompok dewasa berlatih. Pukul 10.30-14.00, dia pun memulai pekerjaannya di perdagangan saham bersama beberapa saudaranya. ''Pukul 16.00-18.00, saya berlatih bersama para pemain junior,'' paparnya. (luq/ang)

(Sumber: indopos.co.id)
Tahir Djide: ''Mustahil Prestasi Tanpa Disiplin''
Oleh admin
Rabu, 09-Juli-2008, 11:39:58 278 klik Send this story to a friend Printable Version

(Bulutangkis.com) - Ditemui disela-sela pertandingan BM 77 Cup yang digelar di Gor BM 77, Prof. Drs. H. M Tahir Djide ketua PB BM 77 yang juga merupakan pelatih pelatnas selama 35 tahun ini mengungkapkan beberapa pendapatnya tentang pembinaan serta dunia bulutangkis Indonesia. Kecintaan beliau pada cabang olah raga satu ini sudah tidak diragukan lagi, pengabdian sejak zaman Rudi Hartono hingga Taufik Hidayat mencerminkan hal tersebut.

Oleh: Ira Ratnati

(Bulutangkis.com) - Ditemui disela-sela pertandingan BM 77 Cup yang digelar di Gor BM 77, Prof. Drs. H. M Tahir Djide ketua PB BM 77 yang juga merupakan pelatih pelatnas selama 35 tahun ini mengungkapkan beberapa pendapatnya tentang pembinaan serta dunia bulutangkis Indonesia. Kecintaan beliau pada cabang olah raga satu ini sudah tidak diragukan lagi, pengabdian sejak zaman Rudi Hartono hingga Taufik Hidayat mencerminkan hal tersebut.

Beliau dengan antusias menceritakan visi dan misi dari pendirian PB BM 77. Educational Approach atau pendekatan pendidikan, itulah yang dilakukan PB BM 77 dalam mendidik siswanya, karena beliau yakin bahwa dengan pendidikanlah bisa terbentuk disiplin, loyalitas, kemampuan untuk berkomunikasi dan bersosialisasi. Dengan olah raga ini setiap anak didiknya diharapkan bisa mengaplikasikan apa yang didapat selama berlatih di PB BM 77 dalam kehidupan sehari-harinya, beliau juga mengungkapkan bahwa anak didiknya di PB BM 77 ini mengalami peningkatan di bidang akademisnya, beliau berani mengklaim bahwa semua anak didiknya berada di 10 rangking teratas di kelasnya masing-masing.

Dalam mendidik anak didiknya Prof Tahir mengungkapkan bahwa disiplin adalah hal yang paling utama, “mustahil prestasi bisa diraih tanpa disiplin” ungkapnya, olah raga adalah salah satu cara yang tepat dalam menanamkan kedisiplinan pada anak, juga dengan olah raga anak bisa lebih percaya diri, belajar untuk menghadapi kekalahan dan berjiwa sportif.
Saat dimintai pendapat mengenai mandegnya regenarasi yang terjadi di bulutangkis Indonesia beliau menginterpretasikan bahwa regenerasi adalah rinci, sistematis dan harmonis. “Bukan hanya regenarasi atlet tapi seharusnya juga regenerasi pelatih dan konsep, sudah saatnya kita benar-benar mengaplikasikan pelatihan berteknologi, bukan hanya pada kulitnya saja tapi juga harus menyentuk aspek di dalamnya”.

Beliau memutuskan untuk mengundurkan diri dari pelatnas pada 1 Maret 2008 silam, beliau mundur karena kesibukannya di Bandung yang mustahil bagi beliau untuk bisa terus berada di Jakarta, karena selain berprofesi sebagai pembina dan pelatih beliau juga merupakan guru besar dan professor di Fakultas Pendidikan Olah Raga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Indonesia. “Sudah saatnya saya fokus di sini (Bandung, red)”.

Ira Ratnati, Jurnalis Bulutangkis.com
Susi Susanti (Bagian I)
Setelah Sepuluh Tahun Gantung Raket
Oleh admin
Kamis, 09-Agustus-2007, 08:22:27 1662 klik Send this story to a friend Printable Version

Susi memberikan kebebasan pada anak-anaknya untuk memilih karir karena merasa Indonesia belum memberikan jaminan apapun kepada seorang atlet. Tidak seperti Tiongkok maupun negara lain yang telah menyadari prestasi olahraga dapat membawa nama bangsa.

Antara Menjadi Ibu dan Membangun Bisnis

Susi Susanti adalah pebulu tangkis wanita terbesar yang pernah dimiliki Indonesia bahkan dunia. Kehamilan membuatnya gantung raket lebih cepat. Kini, mayoritas waktu peraih medali emas Olimpiade 1992 itu dihabiskan untuk mengasuh dua putra dan satu putri buah perkawinannya dengan Alan Budikusuma.

----------

Ketika menjadi pemain, Susi Susanti identik dengan rambut dikuncir ala ekor kuda dan poni, dropshot silang, serta rentangan kaki ke lapangan untuk menyelamatkan bola sulit. Pebulutangkis asal Tasikmalaya itu juga langganan juara. Selama sepuluh tahun berkarir, gelar grand prix, kejuaraan dunia, hingga Olimpiade pernah dia rebut.

Setelah sepuluh tahun gantung raket, penampilan Susi banyak berubah. Kuncir rambut dan poni sudah tidak ada lagi. Susi membiarkan rambutnya yang sebahu, terurai. Dengan tubuh yang tidak lagi tampak atletis, Susi berpenampilan seperti ibu-ibu kebanyakan.

''Junior (anak, Red) saya sudah ada tiga, wajar kan kalau tak selangsing dulu,'' kata Susi pada Jawa Pos sambil menyuap putra keduanya, Albertus Edward (7) di rumahnya di kawasan perumahan elite Gading Kirana, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Dari pernikahannya dengan Alan Budikusuma sepuluh tahun silam, Susi dikaruniai tiga orang anak. Laurencia Averina (8) adalah putri pertama pengantin emas Olimpiade 1992 Barcelona tersebut. ''Saya pikir dua anak cukup, hamil dan melahirkan itu capek rasanya. Eh, kok malah diberi yang ketiga, ya sudah kan nggak bisa nolak lagi,'' kenang Susi seraya mengalihkan suapannya pada putra bungsunya, Sebastianus Fredrick (4).

Susi kini benar-benar menikmati ''karirnya'' sebagai seorang ibu. Setiap pagi, dia turun tangan langsung mempersiapkan segala keperluan anak-anaknya yang akan bersekolah. Termasuk untuk urusan mengantarkan anak-anak kesekolah.

Susi pun tidak pernah memaksa anaknya untuk menjadi atlet bulutangkis yang telah membesarkan namanya. Untuk mengikuti jejak sang ibu atau bapak, seharusnya mulai sekarang anak-anaknya mulai berlatih tepok bulu. Susi mulai turun ke lapangan sejak usia 5 tahun dan mulai serius melangkah menjadi pemain sejak berusia 7 tahun.

''Saya memberikan kebebasan kepada anak-anak. Mereka lebih memilih menyanyi untuk kegiatan sehari-hari. Sedangkan olahraganya aikido dan renang,'' bebernya.

Kelonggaran yang diberikan Susi itu tak lepas dari padatnya jadwal sekolah formal yang dilakoni anak-anaknya. Laurencia bahkan sudah harus meninggalkan rumah sejak pukul 06.00 WIB dan pulang ke rumah setelah pukul 14.00 WIB. Sedangkan dua putranya memulai aktivitas di sekolah mulai pukul 10.00 WIB dan tiba di rumah pada 14.00 WIB. ''Cuma setengah jam kami berkumpul, setelah itu 14.30 mereka harus berangkat ke tempat-tempat lesnya masing-masing,'' ucapnya.

Susi memberikan kebebasan pada anak-anaknya untuk memilih karir karena merasa Indonesia belum memberikan jaminan apapun kepada seorang atlet. Tidak seperti Tiongkok maupun negara lain yang telah menyadari prestasi olahraga dapat membawa nama bangsa.

''Biarlah anak-anak saya fokus ke sekolah, kalau jadi atlet nggak bisa setengah-setengah. Dan sesudah prestasinya habis, sudah dia tak akan dipakai lagi. Kalau anak-anak mau memilih bulu tangkis dan ternyata bisa syukur, kalau tidak ya tidak apa-apa,'' tuturnya.

Selain sibuk mendampingi perkembangan dan pertumbuhan ketiga anaknya, Susi juga disibukkan dengan dua usaha yang dimilikinya, yakni Fontana Reflexy, serta perusahaan peralatan olahraga Astec (Alan & Susi Tecnology).

Semua kesibukan itu cukup menghabiskan waktu Susi. Karena itu, dia menolak ajakan PB PBSI untuk melatih di pelatnas Cipayung. Sumbangsih pada dunia bulutangkis dilakukan dengan cara menggelar kejuaraan usia dini. (femi diah nugrahani/indopos.co.id)
C © updated 9032005






► e-ti/rpr
Nama:
Susi Susanti
Lahir:
Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Februari 1971
Menikah:
9 Februari 1997
Suami:
Alan Budikusuma
Anak:
- Lourencia Averina (1999)
- Albertus Edward (2000)
- Sebastianus Frederick (2003)
Prestasi:
- Hall of Fame dari International Badminton Federation (IBF), Mei 2004
- Herbert Scheele Trophy, 2002
- Juara All England (1990, 1991, 1993, 1994)
- Juara dunia (1993)
- Juara Seri Grand Prix di Bali, 1990
- Tiga kali juara di Jepang Terbuka
- Juara Olimpiade Barcelona 1992
- Juara berbagai kejuaraan seri grand prix dan Piala Dunia

Susi Susanti

Peraih Emas Pertama Olimpiade


Masa keemasannya yang berlangsung cukup panjang, berpuncak pada juara tunggal putri bulutangkis Olimpiade Barcelona, Spanyol (1992). Dia peraih emas pertama Indonesia di Olimpiade. Ketika itu Alan, pacarnya, juga juara di tunggal putra sehingga media asing menjuluki mereka sebagai "Pengantin Olimpiade". Predikat pengantin ini rupanya terus melekat, terbukti saat mereka dipercaya menjadi pembawa obor Olimpiade Athena 2004.


Prestasi yang mengharumkan nama bangsa juga diukir oleh Susi dengan meraih sederetan kejuaraan. Dia menjuarai All England empat kali (1990, 1991, 1993, 1994). Sang juara yang punya semangat pantang menyerah ini selalu menjadi ujung tombak tim Piala Sudirman dan Piala Uber. Juga juara dunia (1993) dan puluhan gelar seri grand prix.


Kiprah Susi Susanti di dunia olahraga bulutangkis Indonesia memang luar biasa. Dalam setiap pertandingan, ia menunjukkan sikap tenang bahkan terlihat tanpa emosi di saat-saat angka penentuan. Semangatnya yang pantang menyerah meski angkanya tertinggal jauh dari lawan membuat banyak pendukungnya menaruh percaya bahwa Susi pasti menang.

Berkat kegigihan dan ketekunannya, perempuan kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Februari 1971 ini turut menyumbang sukses tahun 1989 ketika Piala Sudirman direbut tim Indonesia untuk pertama kalinya dan sampai sekarang belum lagi berulang. Dia pun turut menorehkan sukses saat merebut Piala Uber tahun 1994 dan 1996 setelah piala itu absen lama dari Indonesia.

Semenjak SD, Susi sudah suka bermain bulutangkis. Kebetulan orang tuanya juga sangat mendukung dan memberinya kebebasan untuk menjadi atlit bulutangkis. Setelah menang kejuaraan junior, ia pindah dari Tasikmalaya ke Jakarta. Meski saat itu ia masih duduk di bangku 2 SMP, ia sudah mulai berpikir untuk serius di dunia bulutangkis.

Kegiatan Susi berbeda dengan remaja lain karena ia tinggal di asrama dan bersekolah di sekolah khusus untuk atlit. Ia mengaku menjadi kuper karena hanya berteman dengan sesama atlit. Bahkan pacaran pun dengan atlit.

Sebagai atlit, jadwal latihannya sangat padat. Enam hari dalam seminggu, Senin - Sabtu dari jam 7 sampai jam 11 pagi, lalu disambung lagi jam 3 sore sampai jam 7 malam. Makan, jam tidur, dan pakaian juga ada aturannya tersendiri. Ia tidak diperbolehkan memakai sepatu dengan hak tinggi agar kakinya terhindar dari kemungkinan keseleo. Jalan-jalan ke mal pun hanya bisa dilakukannya pada hari Minggu. Itu pun jarang karena ia sudah terlalu capek latihan.

Memang tidak ada pilihan lain, ia harus disiplin dan berkonsentrasi untuk menjadi juara. Ia akhirnya menyadari bahwa untuk meraih prestasi memang perlu perjuangan dan pengorbanan. “Kalau mau santai dan senang-senang terus, mana mungkin cita-cita saya untuk jadi juara bulutangkis tercapai? Sekarang rasanya puas banget melihat pengorbanan saya ada hasilnya. Ternyata benar juga kata pepatah: Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian,” kata Susi mengenang.


Ketika masih menjadi pemain, Susi berusaha menjadikan dirinya sebagai contoh bagi para pemain lainnya. Ia sangat berdisiplin dengan waktu saat berlatih atau di luar latihan. Sementara di lapangan ia memperlihatkan semangat pantang menyerah sebelum pertandingan berakhir. "Saya hanya berharap teman-teman pemain mengikuti yang baik-baik dari saya," kata Susi.


Nyatanya, cara ini tidak melulu berhasil. Sepeninggal Susi (dan Mia Audina), sektor putri bulutangkis Indonesia mandek. Piala Uber semakin jauh dan puncaknya, tidak satu pun pemain tunggal puteri Indonesia lolos ke Olimpiade Athena 2004.


Susi yang telah mundur mengakui merosotnya prestasi karena memang kekurangan bibit pemain unggul. "Kita bisa saja memberi prasayarat pemain untuk berhasil, tetapi kalau bibitnya tidak ada bagaimana?" Susi melihat popularitas bulutangkis semakin merosot sementara proses seleksi melalui kejuaraan antarklub dan daerah semakin sedikit.

Merasa Sedih
Susi merasa sedih karena olahraga bulutangkis tidak lagi dipandang antusias oleh masyarakat. Ia mengingat betapa antusiasnya masyarakat menyambut kejuaraan bulutangkis seperti All England. Susi melihat hal ini disebabkan karena perhatian anak-anak muda masa kini lebih ke hiburan. Belum lagi maraknya kasus penyalahgunaan obat terlarang, seperti shabu dan narkotika.


Masyarakat juga lebih banyak membaca, mendengar, atau menyaksikan berita-berita kekalahan pebulutangkis Indonesia lewat media massa. Itu tentu berbeda dengan era Tan Joe Hok cs, Liem Swie King, hingga Ardy B Wiranata cs yang banjir mahkota juara.


Keadaan semakin rumit karena orang takut serius terjun di dunia olahraga Indonesia karena tidak jelasnya jaminan akan masa depan. Susi sendiri sudah berniat tidak akan mengijinkan anaknya terjun ke dunia olahraga mengingat pengalamannya dulu. Ia melihat banyak rekannya yang pernah menjadi juara SEA Games, Asian Games, namun hidupnya terkatung-katung.


Selain itu, menjadi atlet olahraga membutuhkan banyak resiko misalnya sekolah yang terhenti, padahal olahraga yang ditekuni tidak mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah. Susi sendiri terpaksa mengorbankan sekolah (hanya sampai SMA). Ia pun menghadapi banyak halangan sebab ada pihak-pihak dari organisasi yang tidak menyukainya. Meski ia berprestasi namun kemudian berhenti, dari situlah ia mendapat pengalaman bahwa bulutangkis belum bisa menjamin masa depannya.


Ia berharap bagi para atet berprestasi yang sudah tidak bermain diberikan dana pensiun yang memadai. Ia khawatir kalau persoalan masa depan atlet belum terpecahkan atau tidak ada jaminan dari pemerintah, bibit-bibit potensial atlet akan sulit ditemukan karena mereka akan memilih jalur pendidikan. "Saya harap PBSI dan KONI memerhatikan persoalan ini. Kalau ini dibiarkan terus, hasilnya akan seperti sekarang ini," ujarnya.


Ia menyesalkan masalah pembinaan yang membuat olahraga semakin terpuruk. Selama ini, hanya kesadaran dari keluarga masing-masing yang ingin anaknya menjadi pemain bukan karena pemerintah ingin memajukan olahraga. Pemerintah dan PBSI hanya menunggu, bukan membina dari daerah, memantau, mencari yang berbakat, baru diambil. Mereka hanya terima jadi saja. Ia beranggapan, semua orangtua saat ini akan seratus kali berpikir untuk membiarkan anaknya menjadi atlet.


Susi mengaku mempunyai pengalaman yang mengecewakan terutama dalam organisasi. Ketika ia dan Alan berprestasi, ada pihak-pihak tertentu yang tidak senang. Mereka berusaha membagi bonus kepada Susi dan Alan dengan asumsi mereka berdua dianggap satu orang. Hal ini menunjukkan sikap tidak profesional pemerintah maupun PBSI yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu.


Dari segi organisasi internal, Susi berharap agar orang-orang yang terlibat di PBSI (Persatuan Bulutangkis seluruh Indonesia) adalah orang yang benar-benar ingin memajukan perbulutangkisan, bukan untuk kepentingan pribadi.


Melihat keadaan dunia olahraga yang belum menjanjikan bagi para atlit, Susi belajar dari pengalaman kakak-kakak seniornya. Susi belajar me-manage keuangannya. Saat ia meraih berbagai prestasi dan hadiah seperti bonus, ia usahakan untuk diinvestasikan ke dalam bentuk tanah, rumah atau tabungan. Ia tahu bahwa prestasi olahragawan itu singkat dan tidak selamanya berada di atas.

Kedua orang tuanya pun sering berpesan agar ia tidak sombong dan hidup sederhana. Susi juga banyak mendapat masukan dari Ir. Ciputra, seorang pengusaha sukses yang dulu merupakan pimpinannya di Klub Bulutangkis Jaya Raya, agar mempergunakan waktu sebaik mungkin dan giat berprestasi sebisa mungkin.


Mulai dari Nol
Ketika berhenti dari dunia bulutangkis, Susi harus memulai dari nol lagi. Meski ada modal dari pendapatan saat aktif di bulutangkis, Susi masih harus belajar dan bersabar mencari usaha apa yang akan ia jalankan. Suaminya, Alan Budikusuma, berulang kali mencoba berbagai jalan untuk menghidupi keluarga mulai dari jual beli mobil, dibantu menjadi rekanan di sebuah instansi, belajar menjadi agen Gozen (alat olahraga bikinan Malaysia) dan menjadi pelatih di Pelatnas. Itu semua menjadi bukti bahwa bahwa setelah tidak berprestasi, mereka berdua harus memulai lagi dari nol.


Untunglah, Susi dan Alan mendapat dukungan dari orang-orang yang terdekatnya. Sedikit demi sedikit mereka belajar menimba pengalaman dan pengetahuan. Baru sekitar satu setengah tahun, mereka bisa berdiri sendiri dan mempunyai keyakinan membuat usaha sendiri.


Sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh tiga orang anak, anak pertama perempuan bernama Lourencia Averina, sedangkan yang kedua dan ketiga adalah lelaki; Albertus Edward dan Sebastianus Frederick, Susi juga ingin ikut membantu keluarga. Bila anak-anaknya sekolah, ia ingin mempunyai kesibukan tetapi tidak menyita waktu untuk keluarga.


Oleh karena itu, ia membuka toko di ITC Mega Grosir Cempaka Mas dengan nama D&V dari nama kedua anaknya, Edward dan Verin. Ia menjual baju-baju dari Cina, Hongkong, dan Korea, dan sebagian produk lokal.

Sebagai mantan atlit bulutangkis, peraih penghargaan tertinggi bulutangkis dari International Badminton Federation (IBF) ‘Hall of Fame’ 2004 ini tetap peduli dengan dunia yang pernah membesarkannya ini. Bersama suaminya, Alan Budi Kusuma - peraih medali emas Olimpiade 1992 pula - ia mendirikan Olympic Badminton Hall di Kelapa Gading. Di gedung pusat pelatihan bulutangkis ini, Susi berharap akan muncul bibit pemain yang akan mengembalikan kejayaan bulutangkis Indonesia.


Selain itu, pada pertengahan tahun 2002, Susi dan Alan membuat raket dengan merek sendiri yaitu Astec, Alan-Susi Technology. Meski pabriknya ada di Taiwan, tetapi senar yang digunakan adalah senar Jepang. Cara pembuatan dan sebagainya, dikontrol oleh mereka sendiri. Pada awalnya mereka mencoba produknya ke teman-teman mereka untuk mencari tahu produk mana yang paling bisa diterima. Baru setelah itu, produk dipasarkan.

erlupakan bagi Susi adalah saat ia berhasil menyumbangkan emas Olimpiade yang pertama bagi Indonesia di Barcelona (Olimpiade Barcelona 1992) bersama Alan Budikusuma yang juga mendapatkan emas. Sedangkan yang paling mengesalkan baginya adalah saat ia kalah hanya satu poin dari Sarwendah (Kusumawardhani) di final Piala Dunia di Jakarta.

Kini pasangan yang menikah pada 9 Februari 1997 ini tinggal di rumah mereka nan tenang di Gading Kirana Timur I Blok B2 No. 28, Komplek Gading Kirana, Jakarta Utara. Di komplek perumahan ini Susi dan Alan masih rutin main bulutangkis. ► e-ti/atur

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Liem Swie King

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Langsung ke: navigasi, cari
Liem Swie King di kala mudanya
Liem Swie King di kala mudanya

Liem Swie King, (Kudus, 28 Februari 1956) adalah seorang pemain bulutangkis yang dulu selalu menjadi buah bibir sejak dia mampu menantang Rudy Hartono di final All England tahun 1976 dalam usianya yang ke-20. Kemudian Swie King menjadi pewaris kejayaan Rudy di kejuaraan paling bergengsi saat itu dengan tiga kali menjadi juara ditambah empat kali menjadi finalis. Bila ditambah dengan turnamen "grand prix" yang lain, gelar kemenangan Swie King menjadi puluhan kali. Swie King juga menyumbang medali emas Asian Games di Bangkok 1978, dan enam kali membela tim Piala Thomas. Tiga di antaranya Indonesia menjadi juara.

Mulai bermain bulu tangkis sejak kecil atas dorongan orangtuanya di kota kelahiran Kudus, Swie King yang lahir 28 Februari 1956 akhirnya masuk ke dalam klub PB Djarum yang banyak melahirkan para pemain nasional.

Usai menang di Pekan Olahraga Nasional saat berusia 17 tahun, akhir 1973, Liem Swie King direkrut masuk pelatnas yang bermarkas di Hall C Senayan. Setelah 15 tahun berkiprah, Swie King merasa telah cukup dan mengundurkan diri di tahun 1988. Saat aktif sebagai pemain, Liem terkenal dengan pukulan smash andalannya, berupa jumping smash, yang dijuluki sebagai King Smash.

Liem Swie King sebenarnya dari marga Oei bukan marga Liem. Pergantian marga seperti ini pada masa dahulu zaman Hindia Belanda biasa terjadi, pada masa itu seorang anak dibawah usia ketika memasuki wilayah Hindia Belanda (Indonesia sekarang) harus ada orang tua yg menyertainya, bila anak itu tidak beserta orang tua aslinya, maka oleh orang tuanya akan dititipkan kepada "orang tua" yg lain, "orang tua" ini bisa saja bermarga sama atau lain dari aslinya.

[sunting] Kiprah di luar bulutangkis


wikipedia.com

Rudy Hartono Kurniawan

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Langsung ke: navigasi, cari
Rudy Hartono di kala mudanya
Rudy Hartono di kala mudanya

Rudy Hartono Kurniawan (Hanzi: 梁海量, Nio Hap Liang; translasi fonetik nama Indonesianya ke bahasa Tionghoa: 哈托诺 Hatuonuo; lahir di Surabaya, 18 Agustus 1949) adalah seorang mantan pemain bulutangkis Indonesia. Ia pernah memenangkan kejuaraan dunia di tahun 1980, dan Kejuaraan All England selama 8 kali pada tahun 1960'an dan 1970'an.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Sejarah

[sunting] Masa Kecil

Rudy Hartono adalah anak ketiga dari 9 bersaudara yang lahir dari pasangan Zulkarnain Kurniawan. Orang tua Rudy tinggal di Jalan Kaliasin 49 (sekarang Jalan Basuki Rahmat), Surabaya, Jawa Timur dan bekerja sebagai penjahit pakaian pria. Selain itu orang tua Rudy juga mempunyai usaha pemrosesan susu sapi di Wonokromo, Jawa Timur.

Seperti anak-anak seumuran lainnya, Rudy kecil juga tertarik dengan berbagai macam olahraga sejak SD, terutama atletik dan renang. Pada masa SMP dia juga berkecimpung di olahraga bola voli dan pada masa SMA dia juga adalah pemain sepakbola yang handal. Tapi dari semua olahraga yang dia ikuti, keinginan terbesarnya akhirnya hanya jatuh pada permainan bulutangkis. Pada usia 9 tahun, Rudy kecil sudah menunjukkan bakatnya di bulutangkis. Tetapi ayahnya baru menyadarinya ketika Rudi sudah berumur 11 tahun. Sebelum itu Rudy hanya berlatih di jalan raya aspal di depan kantor PLN di Surabaya, yang sebelumnya dikenal dengan Jalan Gemblongan -- ditulis oleh Rudy Hartono dalam bukunya Rajawali Dengan Jurus Padi (1986). Rudy berlatih hanya pada hari Minggu, dari pagi hari hingga pukul 10 malam. Setelah merasa cukup, Rudy memutuskan utuk mengikuti kompetisi-kompetisi kecil yang ada di sekitar Surabaya yang pada masa itu biasanya hanya diterangi oleh sinar lampu petromax.

Setelah ayahnya menyadari bakat anaknya, maka Rudy kecil mulai dilatih secara sistematik pada Asosiasi Bulutangkis Oke dengan pola latihan yang telah ditentukan oleh ayahnya. Sekedar informasi, ayah Rudy juga pernah menjadi pemain bulutangkis di masa mudanya. Zulkarnain pernah bermain di kompetisi kelas utama di Surabaya. Zulkarnain pertama kalinya bermain untuk Asosiasi Bulutangkis Oke yang dia dirikan sendiri pada tahun 1951. Di asosiasi ini ayah Rudy juga melatih para pemain muda. Program kepelatihannya ditekankan pada empat hal utama yaitu: kecepatan, pengaturan nafas yang baik, konsistensi permainan dan sifat agresif dalam menjemput target. Tidak mengherankan banyak program kepelatihannya lebih menekankan pada sisi atletik, seperti lari jarak panjang dan pendek dan juga latihan melompat (high jump).

Ketika Rudy mulai berlatih di Asosiasi yang dimiliki ayah pada saat itulah Rudy merasakan latihan profesional yang sesungguhnya. Pada saat itu asosiasi tempat ayah Rudy melatih hanya mempunyai ruangan latihan di gudang gerbong kereta api di PJKA Karangmenjangan. Dengan kondisi seperti itu Rudy tetap berlatih dengan bersemangat bahkan dia merasa bahwa tempat latihan ayahnya jauh lebih baik dari tempat latihan sebelumnya karena ruangan gedung telah memakai cahaya lampu listrik sehingga dia bisa tetap berlatih dengan maksimal sampai malam hari. Selain itu lapangan yang disediakan juga lebih baik dibanding sebelumnya dan juga ada kantin yang berada di samping gedung latihan.

[sunting] Awal Karir Profesional

Setelah beberapa lama bergabung dengan grup ayahnya, akhirnya Rudy memutuskan untuk pindah ke grup bulutangkis yang lebih besar yaitu Grup Rajawali, grup yang telah melahirkan banyak pemain bulutangkis dunia. Pada awal dia bergabung dengan grup ini, Rudy merasa sudah menemukan grup terbaik untuk mengembangkan bakat bulutangkisnya. Akan tetapi setelah berdiskusi dengan ayahnya, Rudy mengakui bahwa jika dia ingin karirnya di bulutangkis meningkat maka dia harus pindah ke tempat latihan yang lebih baik, oleh sebab itu Rudy memutuskan untuk pindah pada Pusat Pelatihan Thomas Cup pada akhir tahun 1965. Tak lama setelah itu, penampilan Rudy semakin membaik. Bahkan dia turut ambil bagian dalam memenangkan Thomas Cup untuk Indonesia pada tahun 1967. Pada umur 18 tahun, untuk pertama kalinya Rudy memenangkan titel Juara All England dengan mengalahkan Tan Aik Huang dari Malaysia dengan hasil akhir 15-12 dan 15-9. Setelah itu dia terus memenangkan titel ini sampai dengan tahun 1974.

[sunting] Daftar prestasi pada kejuaraan All England


wikipedia.com

Alan Budikusuma

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Langsung ke: navigasi, cari

Alan Budikusuma (Dalam aksara Tionghoa: 魏仁芳) (lahir di Surabaya pada 29 Maret 1968) adalah mantan pemain bulutangkis Indonesia yang meraih medali emas bulutangkis pada Olimpiade Barcelona 1992 dalam nomor tunggal putra. Ia pensiun dari dunia bulutangkis setelah Olimpiade Atlanta 1996.

Alan menikah dengan Susi Susanti, yang juga memenangkan medali emas bulutangkis pada Olimpiade Barcelona.

[sunting] Prestasi

  • Medali Emas Olimpiade Barcelona 1992
  • Juara Malaysia Open 1995
  • Juara Indonesia Open 1993
  • Juara German Open 1992
  • Juara China Open 1991
  • Juara Thailand Open 1989 dan 1991
  • Juara Dutch Open 1989

wikipedia.com

Susi Susanti

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Langsung ke: navigasi, cari
Susi Susanti
Susi Susanti

Lucia Francisca Susi Susanti (Hanzi: 王蓮香, pinyin: Wang Lian-xiang, lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat 11 Februari 1971) adalah seorang pemain bulutangkis Indonesia.

Dia menikah dengan Alan Budikusuma, yang meraih medali emas bersamanya di Olimpiade Barcelona 1992. Selain itu, ia pernah juga meraih medali perunggu di Olimpiade Atlanta 1996.

International Badminton Federation (sekarang Badminton World Federation) pada bulan Mei 2004 memberikan penghargaan Hall Of Fame kepada Susi Susanti. Pemain Indonesia lainnya yang memperoleh penghargaan Hall Of Fame yaitu Rudy Hartono Kurniawan, Dick Sudirman, Christian Hadinata, dan Liem Swie King.

[sunting] Prestasi

  • Medali Emas Olimpiade Barcelona 1992
  • Medali Perunggu Olimpiade Atlanta 1996
  • Juara World Championship 1993
  • Juara All England 1990, 1991, 1993, dan 1994
  • Juara World Badminton Grand Prix 1990, 1991, 1992, 1993, 1994 dan 1996
  • Juara Indonesia Open 1989, 1991, 1994, 1995, 1996, dan 1997
  • Juara Malaysia Open 1993, 1994, 1995, dan 1997
  • Juara Japan Open 1992, 1994, dan 1995
  • Juara Korea Open 1995
  • Juara Dutch Open 1993
  • Juara Denmark Open 1991 dan 1992
  • Juara Thailand Open 1991, 1992, 1993, dan 1994
  • Juara Swedish Open 1991
  • Juara China Taipei Open 1991 dan 1994
  • Juara Piala Uber 1994 dan 1996 (Tim Piala Uber Indonesia)


wikipedia.com

Susy Terima Hall of Fame

JAKARTA - Bintang bulutangkis putri Susy Susanti menerima penghargaan Hall of Fame dari Federasi Bulutangkis Internasional (IBF) yang diserahkan Presiden IBF Korn Thapparansi di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu.

"Saya senang menerima penghargan tersebut, dan berterima kasih kepada masyarakat Indonesia yang memungkinkan diperolehnya penghargaan ini," kata Susy dalam pidato singkatnya seusai menerima penghargaan bergengsi di dunia bulutangkis itu.

Keputusan untuk menganugerahkan penghargaan terhadap legenda bulutangkis Indonesia berusia 33 tahun itu diambil oleh Dewan IBF pada pertemuan hari Rabu (12/5).

Susy Susanti yang bersama suaminya Alan Budikusuma meraih medali emas pertama untuk Indonesia pada Olimpiade Barcelona 1992, menyusul Rudy Hartono, Dick Sudirman, Christian Hadinata dan Liem Swie King yang sudah lebih dulu menerima penghargaan tersebut. Selain itu, ibu dari tiga anak tersebut juga meraih medali perunggu di Olimpiade Atlanta 1996, Juara Dunia 1993, dan lima kali menjuarai All England. (ant-57)

Thomas Uber Cup 2008
Pembuktian Nasionalisme Susy Susanti
Oleh admin Minggu, 25-Mei-2008, 10:20:56
Siapa orang Indonesia yang tak kenal nama Susy Susanti. Sebagai ratu bulutangkis dunia namanya tak hanya masyur di Indonesia. Segudang prestasi menjadi sesuatu yang terus menghidupkan namanya. Mental baja, ulet dan pertahanan yang kokoh adalah ciri khas permainan jawara All England 4 kali ini.
Oleh: Iwan Susanto

Siapa orang Indonesia yang tak kenal nama Susy Susanti. Sebagai ratu bulutangkis dunia namanya tak hanya masyur di Indonesia. Segudang prestasi menjadi sesuatu yang terus menghidupkan namanya. Mental baja, ulet dan pertahanan yang kokoh adalah ciri khas permainan jawara All England 4 kali ini.

Setelah berhenti dari hingar bingar bulutangkis internasional, sosoknya tetap menjadi sorotan publik. Tepat di penghujung tahun 1999 Susy resmi gantung raket. Sebagai mantan pemain handal istri Alan Budikusuma ini diharapkan mampu menularkan pengalamannya. Banyak pihak berharap Susy mau menjadi pelatih. Susy digadang akan mampu menelurkan pemain kaliber dunia disaat pemain putri Indonesia terpuruk. Namun Susy selalu menolak. Bahkan Susy selalu muncul dengan kritikan yang lantang kepada pemerintah tentang nasib mantan atlit seperti dirinya yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah.

Banyak kalangan pecinta bulutangkis Indonesia kecewa. Susy yang bergelimang dengan hadiah masih terus menuntut kesejahteraan. Bayangkan disaat tahun 1992 uang tunai 1 milyar sudah masuk ke rekeningnya. Dan masih banyak hadiah yang didapat dari berbagai turnamen. Banyak yang berujar ''Susy dulu kau ku puja kini kau buat ku merana''. Kata-kata itu memang menjadi pilihan terakhir disaat prestasi pemain tunggal putri Indonesia menginjak titik nadir. Contoh akurat adalah tidak adanya pemain tunggal putri yang sekedar bisa lolos ke olimpiade 2004. Padahal Susy adalah ratu ditahun 1992.

Kiprah Susy di bulutangkis pun sangat minim. Susy hanya muncul di turnamen yang melibatkan produknya, ASTEC. Puncaknya Susy dengan tegas melarang anaknya untuk terjun di dunia bulutangkis. Sungguh ironis memang. Egois kah mantan Srikandi Indonesia ini? Semua tentu bertanya-tanya.

Pertanyaan kemudian terjawab di putaran final Thomas Uber Cup 2008. Susy yang ditunjuk sebagi manager tim, ternyata membuktikan bahwa dia adalah nasionalisme sejati. Pembuktian itu bukan karena Maria Kristin dkk sukses melaju hingga final. Namun nasionalisme Susy terbukti dengan seriusnya dia mengolah tim uber kita. Tim yang tak punya kartu as dan tak diunggulkan malah mampu bermain dengan semangat membara. Menempatkan sebagai kakak, Susy berhasil mengayomi Tim Uber Indonesia. Mental tim yang selalu menjadi titik lemah, mampu dipolesnya.

Pernyataannya pun adalah bukti nyata kecintaannya terhadap Indonesia. Walau sempat mendapat tawaran melatih diluar negeri, demi cinta tanah airnya Susi tak menggubris tawaran tersebut. Pernyataan lain yang membuat kagum adalah sehari menjelang final. Susy melontarkan bahwa Tim Uber Indonesia harus berjuang maksimal seperti tentara di medan laga demi Indonesia apapun bisa. ''Indonesia luar biasa,'' kata-kata yang dilontarkan dengan kalem namun penuh makna.

Susy pun berjanji tahun 2010 tim uber Indonesia akan lebih baik dan lebih menggigit. Kita tunggu kiprah sang legenda Indonesia ini.
Iwan Susanto, Jurnalis Masyarakat Bulutangkis Indonesia (MBI)

Ketenangan Bawa Kemenangan Bao Chunlai


Jakarta (ANTARA News) - Tunggal kedua China, Bao Chunlai mengaku bahwa ketenangannya terutama pada game pertama membantunya meraih kemenangan atas Lee Hyun Il 28-26, 21-11.

"Hari ini saya lebih tenang tetapi secara keseluruhan kami sangat lelah dalam pertandingan tersebut," ujar Bao Chunlai saat memberi keterangan pers usai memenangi pertandingan atas pemain ranking sembilan dunia itu sekaligus membawa China memimpin 2-1 atas Korea dalam final Piala Thomas, Minggu.

Ketenangan tersebut terutama bermanfaat pada "deuce" setelah ia unggul 20-17, namun kemudian terkejar sehingga kedudukan sempat imbang mulai dari 20-20 hingga 26-26.

Akhirnya pemain nomor tiga dunia itu yang merebut game tersebut 28-26.

"Saat deuce semua poin sangat sulit didapat, tetapi saya bisa mengatasi tekanan sehingga memenangi set tersebut," ujar Bao yang memperpanjang rekor kemenangannya atas Lee menjadi tujuh kali dari tujuh pertemuan.

Setelah memenangi game pertama dengan perjuangan keras, tanpa banyak kesulitan Bao memenangi game kedua 21-11.

Pemain nomor satu Lin Dan menyumbang angka pertama bagi juara bertahan China dengan menundukkan Park Sung Hwan secara rubber-game 10-21, 21-18, 21-8 dalam satu jam.

Kemenangan tersebut memperbaiki rekor pertemuan dia dengan pemain peringkat delapan dunia, Park itu menjadi 3-3 setelah sebelumnya menang di Kejuaraan Dunia 2006 dan Prancis Super Series 2007, sementara Park memenangi pertemuan Malaysia Terbuka 2004, Malaysia Super Series dan China Super Series 2007.

Namun pasangan peringkat tiga dunia yang sedang menanjak Jung Jae Sung/Lee Yong Dae menyamakan kedudukan bagi Korea menjadi 1-1 setelah menundukkan ranking dua dunia Fu Haifeng/Cai Yun 25-23, 21-16.(*)


sumber: thomascup.antara.co.id

Kertas Warna Warni Meriahkan Kemenangan Tim Thomas China


Jakarta (ANTARA News) - Tim Piala Thomas dan Uber China bersuka-ria dengan menembakkan kembang kertas warna-warni ke udara di dalam gedung Istora Senayan, Minggu, setelah berhasil mempertahankan Piala Thomas dengan skor 3-1 lawan Korsel.

Suasana di dalam gedung Istora Senayan hingar bingar yang diwarnai gempita suara yang dilontarkan para pemain dan ofisial serta dari penonton pendukung China dalam bahasa Mandarin, menyusul kemenangan tim itu.

Sehari sebelumnya, Sabtu, tim China juga berpesta setelah tim Piala Uber mempertahankan gelar dengan memenangi pertandingan final setelah mengalahkan tim tuan rumah Indonesia 3-0.

Tampak bendera-bendera warna merah yang merupakan warna bendera China dibentangkan di area penonton serta sebuah spanduk bertuliskan mendukung pemain tunggal China Lin Dan.

Berbeda dengan hari sebelumnya, Sabtu, suasana yang didominasi dengan dukungan terhadap tim Indonesia, pada malam final Thomas ini, sebagian besar penonton melakukan dukungannya kepada tim China, dan hanya ada sebagian kecil penonton yang berada di sudut kanan atas Istora Senayan yang meneriakkan dukungannya terhadap tim Korsel.

"Saya datang dari wilayah Jakarta Kota, dan keberadaan saya di sini untuk mendukung tim China," kata Mei Lan yang mengaku berprofesi sebagai pedagang itu.(*)

sumber: thomascup.antara.co.id

Kertas Warna Warni Meriahkan Kemenangan Tim Thomas China


Jakarta (ANTARA News) - Tim Piala Thomas dan Uber China bersuka-ria dengan menembakkan kembang kertas warna-warni ke udara di dalam gedung Istora Senayan, Minggu, setelah berhasil mempertahankan Piala Thomas dengan skor 3-1 lawan Korsel.

Suasana di dalam gedung Istora Senayan hingar bingar yang diwarnai gempita suara yang dilontarkan para pemain dan ofisial serta dari penonton pendukung China dalam bahasa Mandarin, menyusul kemenangan tim itu.

Sehari sebelumnya, Sabtu, tim China juga berpesta setelah tim Piala Uber mempertahankan gelar dengan memenangi pertandingan final setelah mengalahkan tim tuan rumah Indonesia 3-0.

Tampak bendera-bendera warna merah yang merupakan warna bendera China dibentangkan di area penonton serta sebuah spanduk bertuliskan mendukung pemain tunggal China Lin Dan.

Berbeda dengan hari sebelumnya, Sabtu, suasana yang didominasi dengan dukungan terhadap tim Indonesia, pada malam final Thomas ini, sebagian besar penonton melakukan dukungannya kepada tim China, dan hanya ada sebagian kecil penonton yang berada di sudut kanan atas Istora Senayan yang meneriakkan dukungannya terhadap tim Korsel.

"Saya datang dari wilayah Jakarta Kota, dan keberadaan saya di sini untuk mendukung tim China," kata Mei Lan yang mengaku berprofesi sebagai pedagang itu.(*)

sumber: thomascup.antara.co.id

China Atasi Korsel, Raih Piala Thomas Tiga Kali Beruntun


Jakarta (ANTARA News) - China, juara bertahan dua kali pada 2004 dan 2006, berhasil mengatasi tim Korea Selatan dengan kemenangan 3-1 pada final Piala Thomas di Istora Gelora Bung Karno Jakarta, Minggu, memastikan kemenangan ketiga secara beruntun.

Pasangan Xie Zhongbo/Guo Zhendong membutuhkana waktu lebih dari satu jam untuk memastikan kemenangan China atas Korea 3-1 setelah bermain tiga game sebelum mengatasi Lee Jae Jin/Hwang Ji Man 21-12, 19-21, 21-12.

Setelah memastikan kemenangan mereka atas tim Korea yang baru pertama kali mencapai final kejuaraan dunia beregu putra itu, tim China, putra dan putri berkumpul di tengah lapangan membentuk lingkaran kemudian meneriakkan kalimat yang kira-kira berarti "kita menang" berulang kali.

Keberhasilan tersebut membuat China secara keseluruhan telah tujuh kali memenangi Piala Thomas dan menyandingkan Piala Thomas dan Uber sejak 2004 setelah tim putri China berhasil memenangi Piala Uber keenam kalinya dengan menundukkan tuan rumah Indonesia 3-0, Sabtu.

Soal kemenangan tersebut, manajer tim China Li Yongbo mengatakan bahwa melalui turnamen tersebut tim China dapat mengetahui kelemahan mereka dan kelemahan tim lawan sehingga bisa mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi Olimpiade.

Tim China tidak menggelar keterangan pers resmi usai meraih kemenangan dengan alasan harus segera kembali ke hotel untuk merayakan keberhasilan mereka.

Piala Thomas diserahkan kepada tim China oleh Presiden BWF Kang Young Joong.

Sementara itu, manajer tim Korea Kim Jong Soo mengatakan bahwa sejak awal ia sudah memperkirakan akan bertemu dengan Denmark di perempat-final, Indonesia di semifinal dan China di final.

"Semua berjalan mulus sesuai perkiraan," katanya.

"Tapi pada final kami mengharapkan sejak tunggal pertama akan bermain bagus, tetapi China adalah tim yang lebih baik hari ini," tambah Kim.

Tim Korea mengharapkan dapat meraih poin melalui tunggal pertama Park Sung Hwan, ganda pertama Jung Jae Sung/Lee Yong Dae dan ganda kedua Lee Jae Jin dan Hwang Ji Man.

"Karena pertandingan pertama kalah, tekanan yang dihadapi pemain bertambah," jelas Kim yang berharap pada putaran final Piala Thomas mendatang dapat kembali maju ke final dan berhasil meraih kemenangan.(*)


sumber: thomascup.antara.co.id

Rudy Sang "Maestro"


Rudy Hartono Kurniawan, pebulutangkis yang lahir di Surabaya 18 Agustus 1949 dengan nama Nio Hap Liang ini, memiliki segudang prestasi yang mengharumkan nama Indonesia dan para pecinta olahraga raket ini baik di dalam dan luar negeri mengenang jasanya, meraih delapan kali juara All England pada era 1960-an hingga 1970-an.

Pahlawan raket yang beberapa kali mengantar Indonesia merebut Thomas Cup ini juga dijuluki sang "Maestro" oleh para kuli tinta yang merekam kisahnya melalui tulisan-tulisan di media massa pada era itu.

Bukan sebuah pencapaian yang tiba-tiba, perjalanan sang "Maestro" Rudy Hartono dalam menggeluti bulutangkis sudah dirintisnya sejak kecil. Sebagai anak ketiga dari 9 bersaudara keluarga pebulutangkis Zulkarnaen Kurniawan (Nio Siek In), Rudy sejak kecil sudah diperkenalkan bagaimana cara memainkan raket dan shuttlecock yang baik.

Rudy kecil yang tinggal bersama orang tuanya di Jalan Kaliasin 49 (sekarang Jalan Basuki Rahmat) Surabaya, Jatim itu, sudah sejak duduk di Sekolah Dasar sudah menunjukkan bakatnya dalam bermain bulutangkis.

Awalnya, waktu kecil Rudy berlatih di jalan raya aspal di depan kantor PLN di Surabaya, yang sebelumnya dikenal dengan Jalan Gemblongan. Dia berlatih setiap Minggu pagi pukul 10.00 hingga malam.

Baru setelah ayahnya menyadari akan bakatnya, maka Rudy kecil mulai dilatih secara sistematik di Asosiasi Bulutangkis Oke, sebuah perkumpulan bulutangkis yang dibentuk Zulkarnain pada 1951. Program kepelatihannya ditekankan pada empat hal utama yaitu: kecepatan, pengaturan nafas yang baik, konsistensi permainan dan sifat agresif dalam menjemput target.

Beberapa kali Rudy aktif mengikuti kejuaraan lokal di Surabaya.

Demi peningkatan prestasinya, Rudy terpaksa memutuskan untuk pindah ke grup bulutangkis yang lebih besar yakni Grup Rajawali, klub yang telah melahirkan para pebulutangkis dunia.

Rudy yang tidak pernah menyerah mencari peluang, akhirnya atas saran ayahnya ia berusaha ikut dalam Pusat Pelatihan Thomas Cup pada akhir 1965 silam. Penampilannya pun semakin baik, bahkan ia turut memenangkan Thomas Cup untuk Indonesia pada 1967.

Kemudian dalam usianya yang masih 18 tahun, Rudy Hartono sudah memenangkan gelar sebagai Juara All England dengan mengalahkan Tan Aik Huang dari Malaysia 15-2, 15-9.

Penampilan memukau dan smash yang mematikan, membawa ia menjadi juara All England delapan kali dan bersama-sama dengan tim Indonesia memenangkan Thomas Cup pada 1970, 1973, 1976, dan 1979. Atas prestasi itu, nama pria yang suka berdoa saat bertanding ini diabadikan dalam Guiness Book of World Records pada 1982.

Di tengah kegemilangan prestasinya menjuarai All England berkali-kali, Rudy sempat dikalahkan Svend Pri dari Denmark pada 1975, namun pada 1976 Rudy kembali merebutnya.

Rudi sempat absen sekitar dua tahun sebelum menjuarai Kejuaraan Dunia Bulutangkis II di Jakarta, 1980. Ia waktu itu mengalahkan Liem Swie King di final untuk membuktikan diri sebagai "maestro" bulutangkis yang tangguh.

Dalam keluarga Rudy yang bisa dikatakan sebagai keluarga pebulutangkis, dua kakak Rudy, Freddy Hartono dan Diana Veronica pernah berkiprah di perbulutangkisan tingkat daerah.

Saudaranya yang lebih muda adalah Jeanne Utami (Utami Dewi), Eliza Laksmi Dewi, Ferry Harianto, George Hartono, dan Hauwtje Hariyadi. Beberapa adiknya pun ada yang menjadi pemain di tingkat daerah.

Utami Dewi misalnya, pernah menjadi pemain tangguh, dan bintang putri bulutangkis Indonesia sebelum hijrah ke Amerika Serikat setelah menikah dengan Christ Kennard.

Sementara Rudy menikah pada 28 Agustus 1976 dengan Jane Anwar, keponakan Willem Soerjadjaja yang waktu itu adalah Presiden Komisaris PT Astra Internasional. Rudy dan Jane dikaruniai dua anak.

Selain bermain bulutangkis, Rudy ternyata juga bisa berakting. Pada Agustus 1971 ia bersama Poppy Dharsono ikut membintangi film berjudul "Matinya Seorang Bidadari" produksi perdana Sumaco Film. Film itu adalah film pertama dan yang terakhir bagi sang "Maestro".

Selain ulet menjalankan usahanya dalam bidang susu sapi perah, pabrik shuttlecocks dan importir alat-alat olahraga lainnya, Rudy juga mengelola sebuah klub bulutangkis Jaya Raya di Jakarta Selatan.

Rudy bahkan sempat terlibat secara intensif melatih generasi setelahnya seperti Eddy Kurniawan, Hermawan Susanto, Alan Budikusuma dan lain-lain.

Banyak sudah hadiah yang diterimanya selama bergulat dalam dunia bulutangkis. Di antaranya ia menerima penghargaan diplome D'honneur dari UNESCO, 3 Nopember 1988 di Paris. Penghargaan tertinggi di bidang olahraga ini diserahkan langsung oleh Direktur Jenderal lembaga itu, Federico Major. Penghargaan tersebut diberikan atas prestasi dan loyalitasnya dalam perbulutangkisan selama 12 tahun, dari 1968 hingga 1980.

"Dalam setiap pertandingan yang diikutinya, Rudy senantiasa bermain bersih," ujar Ny. Pienelte Astruc, juru bicara UNESCO.

Dalam kepengurusan PB PBSI 1993-1997 Rudy Hartono dipercaya menjadi Kabid Luar Negeri, menggantikan Tirto Utomo, SH dan pada Mei 1994 diangkat sebagai Anggota Desan IBF (International Badminton Federation), sekarang Badminton World Federation (BWF). (***)


Foto repro buku "Sejarah Bulutangkis Indonesia", PBSI, 2004: Rudy Hartono dengan gerakannya yang terkenal around the head smash.


sumber: thomascup.antara.co.id

Iie Sumirat, "Sang Pembunuh Raksasa"


Jaarta (ANTARA News) - Gaya permainannya memang lain. Ia dikenal sebagai pemain stylish. Bisa jadi, ialah satu-satunya pebulutangkis stylish di Indonesia. Itulah Iie Sumirat "Sang Pembunuh Raksasa", demikian julukannya.

Putera Bandung, Jawa Barat, tersebut terhitung selalu penuh kejutan. Kejutan demi kejutan pun dibuatnya. Hal paling berkesan saat tim bulutangkis Indonesia berhadapan dengan China di invitasi bulutangkis Asia, yang diselenggarakan World Badminton Championship di Bangkok pada 1976.

Bersama anggota tim lainnya, seperti Dhany Sartika, Christian, dan Ade Candra, Iie harus berjuang untuk menyumbangkan angka bagi Indonesia.

Di kejuaraan yang digelar sebagai pesaing All England itulah awal sebutan sebagai "The Giant Killer" melekat dalam sosok Iie, pria kelahiran Bandung, 15 November 1950.

Di kejuaraan itu, dia menaklukan dua pemain China yang lebih berpengalaman, Tang Hsein Hu dan Hou Chia Chang. Tang ia libas dalam tiga set. Set pertama Iie unggul 15-9. Di set kedua, Tang sempat memimpin 7-4, namun Iie tidak menyerah, dan gantian memimpin 12-7, meski kemudian Iie harus mengakui keunggulan Tang dengan 12-15.

Di set terakhir, keduanya mati-matian berlaga. Setelah imbang 5-5, Iie melesat meninggalkan Tang 15-6. Iie melaju ke final.

Di final, Iie bertemu lawan tangguh yang juga teman senegara Tang, yakni Hou Chia Chang. Tipe permaian Hou mirip-mirip Iie. Iie pun mampu membungkam Hou juga dengan tiga set.

Di set pertama, Iie yang lebih banyak defensif mengakui keunggulan Hou 12-15. Di set kedua, gantian Iie yang memegang kendali. Tenaga Hou yang sudah terkuras tak mampu melayani permainan Iie. Iie unggul 15-8.

Set penentuan berlangsung seru. Kejar mengejar angka terus terjadi pada posisi yang menentukan. Setelah unggul 11-10, Hou ganti menyalip menjadi 11-12. Iie kemudian menyusul lagi menjadi 12-13, dan akhirnya menyamakan kedudukan 13-13. Terjadi deuce lima.

Di posisi itulah, Iie tidak memberi ampun. Hou terkunci dan tak berkutik hingga ketika Iie melancarkan tipuannya dengan sebuah lob serang ke kanan belakang daerah lawan. Saat itu ada pula yang memberi sebutan "Sang Pembunuh Naga" lantaran Iie berhasil mematikan permainan para "naga" dari China.

Iie memang penuh "tipu-menipu" ketika berlaga di lapangan. Gaya kedutnya sulit ditebak lawan. Gaya itu pula sulit untuk ditiru pemain lainnya.

Dalam sebuah wawancara dengan harian Pikiran Rakyat pada 2007, Iie mengakui bahwa gayanya itu merupakan hasil dari seringnya membantu mengecat mobil di bengkel ayahnya.

Aktivitasnya ketika itu dengan memompa sekaligus dua pompa tangan selama 30 menit selama tiga tahun, yang tanpa disadarinya membuat pergelangan tangannya kuat.

Iie tidak saja ahli dalam kedut-mengedut itu. Ia juga ahli "menari". Buktinya ketika menghadapi lawan tangguh, tak segan-segan jurus "tari"-nya keluarkan. Ia akan berputar-putar sambil menggerakan tangannya. Keahlian "ngibing" tersebut, ternyata bisa membuat konsentrasi lawan terpecah. Dan, lagi-lagi, ia bisa memetik kemenangan dengan semua gayanya itu.

Pemain asal Denmark, Svend Pri, termasuk yang menjadi korban "ngibing" Iie. Itu terjadi pada final Piala Thomas 1979. Beberapa kali, Iie merusak mental Svend Pri menggunakan gaya "ngibing". Iie punya alasan kenapa jurusnya itu dipakainya. Ternyata, ia menilai sederhana saja, yakni gerakan itu tidak dilarang dalam pertandingan bulutangkis.

Tingkah Iie yang aneh bukan saja ketika berhadapan dengan lawan. Terhadap sesuatu yang tidak bisa ia terima, Iie juga tidak segan-segan protes. Hal itu ia buktikan ketika merasa tidak puas dengan Pelatnas Thomas Cup 1979 yang digelar di Jakarta. Iie pun hengkang dari pelatnas, dan kembali ke Bandung.

Apa pengakuannya mengenai hal itu? Iie mengaku hengkang dari pelatnas karena merasa dirinya tidak akan dimainkan dalam final seleksi untuk penentuan tunggal putra. Iie saat akan menginjak semifinal seleksi itu menempati peringkat ketiga, di atas "si bola karet" Lius Pongoh.

Di semifinal benar saja, Iie tidak diturunkan. Lius Pongoh yang di urutan keempat justru yang dimainkan. Iie melihat hal itu sebagai sesuatu yang tidak adil, dan dirinya merasa tidak dihiraukan.

Ia pun kemudian memilih untuk kabur dari pelatnas. Meski lari dari Pelatnas, Iie tetap berlatih karena merasa dirinya akan menjadi anggota tim Piala Thomas Indonesia.

Nalurinya ini menjadi kenyataan. Iie akhirnya kembali ke pelatnas setelah persyaratan yang diajukannya diterima. Iie juga "mengancam" kalau dirinya tak bermain di final seleksi, ia akan mengundang wartawan untuk menggelar konferensi pers.

Posisi tawar Iie saat itu amatlah tinggi. Pasalnya, beberapa wartawan nasional yang telah mengendus kaburnya Iie dari pelatnas, sudah menyusul pula ke Bandung.

Akhirnya, Iie menang bersyarat. "Si bola karet" menyerah pada pembunuh raksasa. Iie masuk tim inti, diikuti Liem Swie King, dan Rudi Hartono. Bahkan, ia bermain pula untuk nomor ganda putra, berpasangan dengan Tjuntjun.

Hasilnya, Iie menyumbang tiga poin dari total sembilan partai pertandingan untuk mempertahankan Piala Thomas kali keempat berturut-turut. Iie menang dua partai tunggal dan sekali partai ganda. Indonesia mendapat Piala Thomas dari tahun 1970, 1973, 1976, dan 1979.

Kini Iie masih aktif di dunia bulutangkis. Ia menjadi pelatih di Klub Graha Sangkuriang Bandung (SGS). Salah satu anak didiknya yang saat ini berlaga di Thomas Cup 2008 adalah Taufik Hidayat.

Polesan Iie terlihat sekali dalam diri Taufik dengan pukulan-pukulan tipunya. Demikian juga dalam hal mengambil posisi di lapangan, akan terlihat gerak kaki yang khas Iie Sumirat selalu diperagakan Taufik kala bertanding. (***)


Foto repro buku "Sejarah Bulutangkis Indonesia", PBSI, 2004: Salah satu aksi Iie Sumirat.


sumber: thomascup.antara.co.id

Icuk Sugiarto, Ketangguhan Pebulutangkis Bertahan


Jakarta (ANTARA News) - Icuk Sugiarto adalah salah seorang pebulutangkis Indonesia yang tenar pada era 1980 hingga 1990-an. Lelaki kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, pada 4 Oktober 1962 itu pernah menjadi juara dunia pada 1983 dan 1985. Selain itu, ia memperkuat tim Piala Thomas Indonesia pada 1982, 1984, 1986, 1988, dan 1990.

Selain terkenal sebagai pemain yang super defensif (memiliki pertahanan yang kuat), Icuk juga berstamina sangat prima. Pada masanya, ia adalah pemain yang mempunyai stamina paling baik, sebagaimana tercatat dalam buku "Apa & Siapa Sejumlah Orang Bulutangkis Indonesia".

Daya tahan dan stamina Icuk luar biasa. Bahkan, ia sempat dicurigai oleh komite dopping Kejuaraan Dunia di Kopenhagen, Denmark, pada Mei 1983. Komite itu sampai dua kali memeriksa Icuk, sehingga Tahir Djide selaku pelatihnya melayangkan protes keras.

Dalam kondisi prima kala itu, ketika merebut gelar juara dunia, VO2max Icuk mencapai sekitar 72, padahal rata-rata yang dimiliki pemain lain adalah 65.

V02max adalah kapasitas maksimum oksigen yang dikonsumsi seseorang ketika menjalankan aktivitas yang menguras tenaga, seperti dalam pertandingan olahraga. Orang dengan V02max tinggi akan memiliki daya tahan dan stamina yang lebih baik.

Oleh karena itu, kalangan ahli kesehatan pun tidak heran manakala secara fisik saja Icuk mampu merobohkan raksasa-raksasa bulutangkis, seperti Morten Frost Hansen dari Denmark, Prakash Padukone (India), dan Liem Swie King sesama pemain Indonesia.

Pemuda yang bernama Budianto itu merupakan putra ketiga dari tujuh bersaudara yang lahir dari pasangan Suhardjo dengan Ny. Tjiptaningsih. Suhardjo adalah seorang
pensiunan pegawai Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta bagian karawitan.

"Saya ini berasal dari keluarga orang susah. Saya tidak pernah takut hidup susah, asalkan saya bisa jujur dalam hidup ini," kata Icuk.

Ketika ke Semarang, ibukota Jawa Tengah, pada 1974 dan menjadi juara tunggal putra Piala Munadi, ibunya pun turut mendampingi. Sang ibu setia mendukung Icuk, bahkan mencucikan kaos dan celananya.

Budianto mengenal bulutangkis sejak usia 12 tahun. Klub pertama yang membimbingnya adalah Taruna, kemudian Abadi. Sedangkan, pelatih yang banyak mempengaruhi gaya bermain Icuk adalah Suratman.

Penampilannya di Munadi Cup sangat memukau, sehingga M. Ridwan S., pelatih dan pemandu bakat dari Bimantara Tangkas, terpesona dibuatnya. Sejak saat itu Icuk diliriknya, kemudian dimasukkan ke sekolah atlet Ragunan di Jakarta Selatan pada 1979, sebelum bergabung dengan Pelatihan Nasional (Pelatnas) Bulutangkis.

Bergabung dengan pelatnas, permainan Icuk kian berkembang. Di bawah bimbingan Tahir Djide, ia berhasil menjuarai kompetisi bulutangkis pelajar se-Asia pada 1979. Setahun kemudian, Icuk bersama Sigit Pamungkas menjadi juara I Kejuaraan Nasional di nomor ganda putra.

Icuk berprestasi puncaknya menjadi juara dunia di Kopenhagen pada 1983 dengan disaksikan Presiden IOC (International Olympic Commitee) saat itu, Juan Antonio Samaranch. Kala itu, Federasi Bulutangkis Internasional (International Badminton Federation/IBF) berusaha memasukkan bulutangkis menjadi cabang olahraga yang dipertandingkan di olimpiade.

Setelah itu, Icuk pun kian percaya diri. Ia sampai dengan 1989 mengantongi 32 gelar juara.

Hanya saja, karirnya tidak selalu mulus. Usai merebut juara dunia, Icuk di kemudian hari mengakui bahwa rasanya kemampuannya terlalu cepat naik, sehingga terkesan berangsur-angsur surut.

Bahkan, Icuk dalam dua tahun setelah menjadi juara dunia hanya memenangi tiga turnamen internasional yang kurang penting, antara lain Sirkuit Thailand Open dan Malaysia Open pada pertengahan Juli 1984.

Baru pada Piala Dunia 555 tahun 1986 di Jakarta, Icuk kembali bangkit dengan membantai Park Joo Bong dari Korea Selatan, Zhao Jian (China), Huang Hua (China), dan lagi-lagi Morten Frost Hansen.

Seiring dengan lanjutnya usia, Icuk sepak terjangnya pun menurun. Dari perkawinannya pada 5 Juli 1983 dengan Nina Yaroh, perempuan Medan (Sumatera Utara) kelahiran 26 Juni 1962, Icuk dikaruniai dua anak. Natasia Oktaviani lahir 3 Oktober 1984 dan Tommy Sugiarto 13 Mei 1988.

Tommy adalah penerus Icuk sebagai pebulutangkis yang lima tahun terakhir ini kemampuannya terbilang lumayan.

Sejak awal April 1991, Icuk ditunjuk menjadi manajer klub Pelita Jaya. Hal itu dipilihnya, setelah menolak tawaran Australia dan Prancis yang ingin mengejar ketertinggalannya dari negera-negara lain dalam perbulutangkisan.

Tawaran terakhir dari Malaysia, dan Icuk pun tetap menolaknya. Dari perjuangan dan pengabdiannya, Icuk memperoleh berbagai penghargaan, antara lain:

1. Atlet Terbaik versi Seksi Wartawan Olahraga, Persatuan Wartawan Indonesia, Jakarta Raya (Siwo PWI) Jaya pada 1983.
2. Bintang Jasa Klas I dari Pemerintah RI yang disematkan oleh Menteri Muda Pemuda dan Olahraga (Menpora) Abdul Gafur.
3. Atlet terbaik Asia di Beijing pilihan wartawan olahraga Cina pada 1986.
4. Atlet Terbaik Siwo PWI Jaya 1988.
5. Selalu masuk sebagai unggulan atlet terbaik nasional dalam 1982 hingga 1989.
6. Satya Lencana Kebudayaan RI yang diberikan Presiden Soeharto pada Hari Olahraga Nasional (Haornas) di Parkir Timur Senayan 1991. (*)

Foto repro buku "Sejarah Bulutangkis Indonesia", PBSI, 2004.


sumber: thomascup.antara.co.id