Thursday, July 24, 2008

Icuk Sugiarto, Ketangguhan Pebulutangkis Bertahan


Jakarta (ANTARA News) - Icuk Sugiarto adalah salah seorang pebulutangkis Indonesia yang tenar pada era 1980 hingga 1990-an. Lelaki kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, pada 4 Oktober 1962 itu pernah menjadi juara dunia pada 1983 dan 1985. Selain itu, ia memperkuat tim Piala Thomas Indonesia pada 1982, 1984, 1986, 1988, dan 1990.

Selain terkenal sebagai pemain yang super defensif (memiliki pertahanan yang kuat), Icuk juga berstamina sangat prima. Pada masanya, ia adalah pemain yang mempunyai stamina paling baik, sebagaimana tercatat dalam buku "Apa & Siapa Sejumlah Orang Bulutangkis Indonesia".

Daya tahan dan stamina Icuk luar biasa. Bahkan, ia sempat dicurigai oleh komite dopping Kejuaraan Dunia di Kopenhagen, Denmark, pada Mei 1983. Komite itu sampai dua kali memeriksa Icuk, sehingga Tahir Djide selaku pelatihnya melayangkan protes keras.

Dalam kondisi prima kala itu, ketika merebut gelar juara dunia, VO2max Icuk mencapai sekitar 72, padahal rata-rata yang dimiliki pemain lain adalah 65.

V02max adalah kapasitas maksimum oksigen yang dikonsumsi seseorang ketika menjalankan aktivitas yang menguras tenaga, seperti dalam pertandingan olahraga. Orang dengan V02max tinggi akan memiliki daya tahan dan stamina yang lebih baik.

Oleh karena itu, kalangan ahli kesehatan pun tidak heran manakala secara fisik saja Icuk mampu merobohkan raksasa-raksasa bulutangkis, seperti Morten Frost Hansen dari Denmark, Prakash Padukone (India), dan Liem Swie King sesama pemain Indonesia.

Pemuda yang bernama Budianto itu merupakan putra ketiga dari tujuh bersaudara yang lahir dari pasangan Suhardjo dengan Ny. Tjiptaningsih. Suhardjo adalah seorang
pensiunan pegawai Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta bagian karawitan.

"Saya ini berasal dari keluarga orang susah. Saya tidak pernah takut hidup susah, asalkan saya bisa jujur dalam hidup ini," kata Icuk.

Ketika ke Semarang, ibukota Jawa Tengah, pada 1974 dan menjadi juara tunggal putra Piala Munadi, ibunya pun turut mendampingi. Sang ibu setia mendukung Icuk, bahkan mencucikan kaos dan celananya.

Budianto mengenal bulutangkis sejak usia 12 tahun. Klub pertama yang membimbingnya adalah Taruna, kemudian Abadi. Sedangkan, pelatih yang banyak mempengaruhi gaya bermain Icuk adalah Suratman.

Penampilannya di Munadi Cup sangat memukau, sehingga M. Ridwan S., pelatih dan pemandu bakat dari Bimantara Tangkas, terpesona dibuatnya. Sejak saat itu Icuk diliriknya, kemudian dimasukkan ke sekolah atlet Ragunan di Jakarta Selatan pada 1979, sebelum bergabung dengan Pelatihan Nasional (Pelatnas) Bulutangkis.

Bergabung dengan pelatnas, permainan Icuk kian berkembang. Di bawah bimbingan Tahir Djide, ia berhasil menjuarai kompetisi bulutangkis pelajar se-Asia pada 1979. Setahun kemudian, Icuk bersama Sigit Pamungkas menjadi juara I Kejuaraan Nasional di nomor ganda putra.

Icuk berprestasi puncaknya menjadi juara dunia di Kopenhagen pada 1983 dengan disaksikan Presiden IOC (International Olympic Commitee) saat itu, Juan Antonio Samaranch. Kala itu, Federasi Bulutangkis Internasional (International Badminton Federation/IBF) berusaha memasukkan bulutangkis menjadi cabang olahraga yang dipertandingkan di olimpiade.

Setelah itu, Icuk pun kian percaya diri. Ia sampai dengan 1989 mengantongi 32 gelar juara.

Hanya saja, karirnya tidak selalu mulus. Usai merebut juara dunia, Icuk di kemudian hari mengakui bahwa rasanya kemampuannya terlalu cepat naik, sehingga terkesan berangsur-angsur surut.

Bahkan, Icuk dalam dua tahun setelah menjadi juara dunia hanya memenangi tiga turnamen internasional yang kurang penting, antara lain Sirkuit Thailand Open dan Malaysia Open pada pertengahan Juli 1984.

Baru pada Piala Dunia 555 tahun 1986 di Jakarta, Icuk kembali bangkit dengan membantai Park Joo Bong dari Korea Selatan, Zhao Jian (China), Huang Hua (China), dan lagi-lagi Morten Frost Hansen.

Seiring dengan lanjutnya usia, Icuk sepak terjangnya pun menurun. Dari perkawinannya pada 5 Juli 1983 dengan Nina Yaroh, perempuan Medan (Sumatera Utara) kelahiran 26 Juni 1962, Icuk dikaruniai dua anak. Natasia Oktaviani lahir 3 Oktober 1984 dan Tommy Sugiarto 13 Mei 1988.

Tommy adalah penerus Icuk sebagai pebulutangkis yang lima tahun terakhir ini kemampuannya terbilang lumayan.

Sejak awal April 1991, Icuk ditunjuk menjadi manajer klub Pelita Jaya. Hal itu dipilihnya, setelah menolak tawaran Australia dan Prancis yang ingin mengejar ketertinggalannya dari negera-negara lain dalam perbulutangkisan.

Tawaran terakhir dari Malaysia, dan Icuk pun tetap menolaknya. Dari perjuangan dan pengabdiannya, Icuk memperoleh berbagai penghargaan, antara lain:

1. Atlet Terbaik versi Seksi Wartawan Olahraga, Persatuan Wartawan Indonesia, Jakarta Raya (Siwo PWI) Jaya pada 1983.
2. Bintang Jasa Klas I dari Pemerintah RI yang disematkan oleh Menteri Muda Pemuda dan Olahraga (Menpora) Abdul Gafur.
3. Atlet terbaik Asia di Beijing pilihan wartawan olahraga Cina pada 1986.
4. Atlet Terbaik Siwo PWI Jaya 1988.
5. Selalu masuk sebagai unggulan atlet terbaik nasional dalam 1982 hingga 1989.
6. Satya Lencana Kebudayaan RI yang diberikan Presiden Soeharto pada Hari Olahraga Nasional (Haornas) di Parkir Timur Senayan 1991. (*)

Foto repro buku "Sejarah Bulutangkis Indonesia", PBSI, 2004.


sumber: thomascup.antara.co.id

1 comment:

BELAJAR BAHASA said...

Icuk Sugiarto memang pemain spesialis rally seperti Ardy Wiranata