Thursday, July 24, 2008

Iie Sumirat, "Sang Pembunuh Raksasa"


Jaarta (ANTARA News) - Gaya permainannya memang lain. Ia dikenal sebagai pemain stylish. Bisa jadi, ialah satu-satunya pebulutangkis stylish di Indonesia. Itulah Iie Sumirat "Sang Pembunuh Raksasa", demikian julukannya.

Putera Bandung, Jawa Barat, tersebut terhitung selalu penuh kejutan. Kejutan demi kejutan pun dibuatnya. Hal paling berkesan saat tim bulutangkis Indonesia berhadapan dengan China di invitasi bulutangkis Asia, yang diselenggarakan World Badminton Championship di Bangkok pada 1976.

Bersama anggota tim lainnya, seperti Dhany Sartika, Christian, dan Ade Candra, Iie harus berjuang untuk menyumbangkan angka bagi Indonesia.

Di kejuaraan yang digelar sebagai pesaing All England itulah awal sebutan sebagai "The Giant Killer" melekat dalam sosok Iie, pria kelahiran Bandung, 15 November 1950.

Di kejuaraan itu, dia menaklukan dua pemain China yang lebih berpengalaman, Tang Hsein Hu dan Hou Chia Chang. Tang ia libas dalam tiga set. Set pertama Iie unggul 15-9. Di set kedua, Tang sempat memimpin 7-4, namun Iie tidak menyerah, dan gantian memimpin 12-7, meski kemudian Iie harus mengakui keunggulan Tang dengan 12-15.

Di set terakhir, keduanya mati-matian berlaga. Setelah imbang 5-5, Iie melesat meninggalkan Tang 15-6. Iie melaju ke final.

Di final, Iie bertemu lawan tangguh yang juga teman senegara Tang, yakni Hou Chia Chang. Tipe permaian Hou mirip-mirip Iie. Iie pun mampu membungkam Hou juga dengan tiga set.

Di set pertama, Iie yang lebih banyak defensif mengakui keunggulan Hou 12-15. Di set kedua, gantian Iie yang memegang kendali. Tenaga Hou yang sudah terkuras tak mampu melayani permainan Iie. Iie unggul 15-8.

Set penentuan berlangsung seru. Kejar mengejar angka terus terjadi pada posisi yang menentukan. Setelah unggul 11-10, Hou ganti menyalip menjadi 11-12. Iie kemudian menyusul lagi menjadi 12-13, dan akhirnya menyamakan kedudukan 13-13. Terjadi deuce lima.

Di posisi itulah, Iie tidak memberi ampun. Hou terkunci dan tak berkutik hingga ketika Iie melancarkan tipuannya dengan sebuah lob serang ke kanan belakang daerah lawan. Saat itu ada pula yang memberi sebutan "Sang Pembunuh Naga" lantaran Iie berhasil mematikan permainan para "naga" dari China.

Iie memang penuh "tipu-menipu" ketika berlaga di lapangan. Gaya kedutnya sulit ditebak lawan. Gaya itu pula sulit untuk ditiru pemain lainnya.

Dalam sebuah wawancara dengan harian Pikiran Rakyat pada 2007, Iie mengakui bahwa gayanya itu merupakan hasil dari seringnya membantu mengecat mobil di bengkel ayahnya.

Aktivitasnya ketika itu dengan memompa sekaligus dua pompa tangan selama 30 menit selama tiga tahun, yang tanpa disadarinya membuat pergelangan tangannya kuat.

Iie tidak saja ahli dalam kedut-mengedut itu. Ia juga ahli "menari". Buktinya ketika menghadapi lawan tangguh, tak segan-segan jurus "tari"-nya keluarkan. Ia akan berputar-putar sambil menggerakan tangannya. Keahlian "ngibing" tersebut, ternyata bisa membuat konsentrasi lawan terpecah. Dan, lagi-lagi, ia bisa memetik kemenangan dengan semua gayanya itu.

Pemain asal Denmark, Svend Pri, termasuk yang menjadi korban "ngibing" Iie. Itu terjadi pada final Piala Thomas 1979. Beberapa kali, Iie merusak mental Svend Pri menggunakan gaya "ngibing". Iie punya alasan kenapa jurusnya itu dipakainya. Ternyata, ia menilai sederhana saja, yakni gerakan itu tidak dilarang dalam pertandingan bulutangkis.

Tingkah Iie yang aneh bukan saja ketika berhadapan dengan lawan. Terhadap sesuatu yang tidak bisa ia terima, Iie juga tidak segan-segan protes. Hal itu ia buktikan ketika merasa tidak puas dengan Pelatnas Thomas Cup 1979 yang digelar di Jakarta. Iie pun hengkang dari pelatnas, dan kembali ke Bandung.

Apa pengakuannya mengenai hal itu? Iie mengaku hengkang dari pelatnas karena merasa dirinya tidak akan dimainkan dalam final seleksi untuk penentuan tunggal putra. Iie saat akan menginjak semifinal seleksi itu menempati peringkat ketiga, di atas "si bola karet" Lius Pongoh.

Di semifinal benar saja, Iie tidak diturunkan. Lius Pongoh yang di urutan keempat justru yang dimainkan. Iie melihat hal itu sebagai sesuatu yang tidak adil, dan dirinya merasa tidak dihiraukan.

Ia pun kemudian memilih untuk kabur dari pelatnas. Meski lari dari Pelatnas, Iie tetap berlatih karena merasa dirinya akan menjadi anggota tim Piala Thomas Indonesia.

Nalurinya ini menjadi kenyataan. Iie akhirnya kembali ke pelatnas setelah persyaratan yang diajukannya diterima. Iie juga "mengancam" kalau dirinya tak bermain di final seleksi, ia akan mengundang wartawan untuk menggelar konferensi pers.

Posisi tawar Iie saat itu amatlah tinggi. Pasalnya, beberapa wartawan nasional yang telah mengendus kaburnya Iie dari pelatnas, sudah menyusul pula ke Bandung.

Akhirnya, Iie menang bersyarat. "Si bola karet" menyerah pada pembunuh raksasa. Iie masuk tim inti, diikuti Liem Swie King, dan Rudi Hartono. Bahkan, ia bermain pula untuk nomor ganda putra, berpasangan dengan Tjuntjun.

Hasilnya, Iie menyumbang tiga poin dari total sembilan partai pertandingan untuk mempertahankan Piala Thomas kali keempat berturut-turut. Iie menang dua partai tunggal dan sekali partai ganda. Indonesia mendapat Piala Thomas dari tahun 1970, 1973, 1976, dan 1979.

Kini Iie masih aktif di dunia bulutangkis. Ia menjadi pelatih di Klub Graha Sangkuriang Bandung (SGS). Salah satu anak didiknya yang saat ini berlaga di Thomas Cup 2008 adalah Taufik Hidayat.

Polesan Iie terlihat sekali dalam diri Taufik dengan pukulan-pukulan tipunya. Demikian juga dalam hal mengambil posisi di lapangan, akan terlihat gerak kaki yang khas Iie Sumirat selalu diperagakan Taufik kala bertanding. (***)


Foto repro buku "Sejarah Bulutangkis Indonesia", PBSI, 2004: Salah satu aksi Iie Sumirat.


sumber: thomascup.antara.co.id

No comments: