Rudy Sang "Maestro"
Rudy Hartono Kurniawan, pebulutangkis yang lahir di Surabaya 18 Agustus 1949 dengan nama Nio Hap Liang ini, memiliki segudang prestasi yang mengharumkan nama Indonesia dan para pecinta olahraga raket ini baik di dalam dan luar negeri mengenang jasanya, meraih delapan kali juara All England pada era 1960-an hingga 1970-an.
Pahlawan raket yang beberapa kali mengantar Indonesia merebut Thomas Cup ini juga dijuluki sang "Maestro" oleh para kuli tinta yang merekam kisahnya melalui tulisan-tulisan di media massa pada era itu.
Bukan sebuah pencapaian yang tiba-tiba, perjalanan sang "Maestro" Rudy Hartono dalam menggeluti bulutangkis sudah dirintisnya sejak kecil. Sebagai anak ketiga dari 9 bersaudara keluarga pebulutangkis Zulkarnaen Kurniawan (Nio Siek In), Rudy sejak kecil sudah diperkenalkan bagaimana cara memainkan raket dan shuttlecock yang baik.
Rudy kecil yang tinggal bersama orang tuanya di Jalan Kaliasin 49 (sekarang Jalan Basuki Rahmat) Surabaya, Jatim itu, sudah sejak duduk di Sekolah Dasar sudah menunjukkan bakatnya dalam bermain bulutangkis.
Awalnya, waktu kecil Rudy berlatih di jalan raya aspal di depan kantor PLN di Surabaya, yang sebelumnya dikenal dengan Jalan Gemblongan. Dia berlatih setiap Minggu pagi pukul 10.00 hingga malam.
Baru setelah ayahnya menyadari akan bakatnya, maka Rudy kecil mulai dilatih secara sistematik di Asosiasi Bulutangkis Oke, sebuah perkumpulan bulutangkis yang dibentuk Zulkarnain pada 1951. Program kepelatihannya ditekankan pada empat hal utama yaitu: kecepatan, pengaturan nafas yang baik, konsistensi permainan dan sifat agresif dalam menjemput target.
Beberapa kali Rudy aktif mengikuti kejuaraan lokal di Surabaya.
Demi peningkatan prestasinya, Rudy terpaksa memutuskan untuk pindah ke grup bulutangkis yang lebih besar yakni Grup Rajawali, klub yang telah melahirkan para pebulutangkis dunia.
Rudy yang tidak pernah menyerah mencari peluang, akhirnya atas saran ayahnya ia berusaha ikut dalam Pusat Pelatihan Thomas Cup pada akhir 1965 silam. Penampilannya pun semakin baik, bahkan ia turut memenangkan Thomas Cup untuk Indonesia pada 1967.
Kemudian dalam usianya yang masih 18 tahun, Rudy Hartono sudah memenangkan gelar sebagai Juara All England dengan mengalahkan Tan Aik Huang dari Malaysia 15-2, 15-9.
Penampilan memukau dan smash yang mematikan, membawa ia menjadi juara All England delapan kali dan bersama-sama dengan tim Indonesia memenangkan Thomas Cup pada 1970, 1973, 1976, dan 1979. Atas prestasi itu, nama pria yang suka berdoa saat bertanding ini diabadikan dalam Guiness Book of World Records pada 1982.
Di tengah kegemilangan prestasinya menjuarai All England berkali-kali, Rudy sempat dikalahkan Svend Pri dari Denmark pada 1975, namun pada 1976 Rudy kembali merebutnya.
Rudi sempat absen sekitar dua tahun sebelum menjuarai Kejuaraan Dunia Bulutangkis II di Jakarta, 1980. Ia waktu itu mengalahkan Liem Swie King di final untuk membuktikan diri sebagai "maestro" bulutangkis yang tangguh.
Dalam keluarga Rudy yang bisa dikatakan sebagai keluarga pebulutangkis, dua kakak Rudy, Freddy Hartono dan Diana Veronica pernah berkiprah di perbulutangkisan tingkat daerah.
Saudaranya yang lebih muda adalah Jeanne Utami (Utami Dewi), Eliza Laksmi Dewi, Ferry Harianto, George Hartono, dan Hauwtje Hariyadi. Beberapa adiknya pun ada yang menjadi pemain di tingkat daerah.
Utami Dewi misalnya, pernah menjadi pemain tangguh, dan bintang putri bulutangkis Indonesia sebelum hijrah ke Amerika Serikat setelah menikah dengan Christ Kennard.
Sementara Rudy menikah pada 28 Agustus 1976 dengan Jane Anwar, keponakan Willem Soerjadjaja yang waktu itu adalah Presiden Komisaris PT Astra Internasional. Rudy dan Jane dikaruniai dua anak.
Selain bermain bulutangkis, Rudy ternyata juga bisa berakting. Pada Agustus 1971 ia bersama Poppy Dharsono ikut membintangi film berjudul "Matinya Seorang Bidadari" produksi perdana Sumaco Film. Film itu adalah film pertama dan yang terakhir bagi sang "Maestro".
Selain ulet menjalankan usahanya dalam bidang susu sapi perah, pabrik shuttlecocks dan importir alat-alat olahraga lainnya, Rudy juga mengelola sebuah klub bulutangkis Jaya Raya di Jakarta Selatan.
Rudy bahkan sempat terlibat secara intensif melatih generasi setelahnya seperti Eddy Kurniawan, Hermawan Susanto, Alan Budikusuma dan lain-lain.
Banyak sudah hadiah yang diterimanya selama bergulat dalam dunia bulutangkis. Di antaranya ia menerima penghargaan diplome D'honneur dari UNESCO, 3 Nopember 1988 di Paris. Penghargaan tertinggi di bidang olahraga ini diserahkan langsung oleh Direktur Jenderal lembaga itu, Federico Major. Penghargaan tersebut diberikan atas prestasi dan loyalitasnya dalam perbulutangkisan selama 12 tahun, dari 1968 hingga 1980.
"Dalam setiap pertandingan yang diikutinya, Rudy senantiasa bermain bersih," ujar Ny. Pienelte Astruc, juru bicara UNESCO.
Dalam kepengurusan PB PBSI 1993-1997 Rudy Hartono dipercaya menjadi Kabid Luar Negeri, menggantikan Tirto Utomo, SH dan pada Mei 1994 diangkat sebagai Anggota Desan IBF (International Badminton Federation), sekarang Badminton World Federation (BWF). (***)
Foto repro buku "Sejarah Bulutangkis Indonesia", PBSI, 2004: Rudy Hartono dengan gerakannya yang terkenal around the head smash.
sumber: thomascup.antara.co.id
No comments:
Post a Comment